Kanal24, Malang – Sengketa tanah selama ini kerap dipersepsikan sebagai persoalan pedesaan. Namun realitas menunjukkan, kota-kota besar pun menyimpan problem serupa yang tak kalah pelik. Tanah negara yang seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat sering kali justru menjadi sumber ketidakpastian hukum bagi warga miskin perkotaan. Kerentanan ini melahirkan kelompok masyarakat tanpa hak (rightless people) yang setiap saat bisa tergusur, sementara akses terhadap tanah lebih banyak dikuasai pengusaha maupun pemilik modal.
Di tengah kondisi itu, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) kembali melahirkan doktor baru, Dr. Juwita Manurung, S.H., M.Kn., yang dalam ujian terbuka disertasinya menyoroti urgensi reforma hukum pemanfaatan tanah negara di wilayah perkotaan.
Potret Masalah Tanah Negara di Perkotaan
Dalam pemaparannya, Dr. Juwita menegaskan urgensi penelitian yang dilakukannya. Menurutnya, tanah negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat, pada kenyataannya masih menimbulkan persoalan implementasi di lapangan.
Baca juga:
UB Gelar Bonsai Bahas Inovasi Hutan Lestari

“Urgensinya adalah tanah negara saat ini perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun teknis di lapangan menunjukkan bahwa tanah negara ini belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh para penggarap. Hukum berlaku secara normatif, tetapi dalam praktiknya tidak berjalan sebagaimana mestinya,” jelas Juwita.
Ia menambahkan bahwa penelitian disertasinya menggunakan pendekatan sosiologis hukum, dengan lokasi penelitian di Jakarta Timur. Tujuannya adalah menghadirkan pemahaman bahwa regulasi tidak berhenti sebagai norma semata, melainkan harus memberi manfaat nyata berupa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat perkotaan, khususnya penggarap tanah.
Perspektif Promotor: Keadilan bagi Warga Kota
Ko-Promotor I, Prof. Dr. Imam Koeswahyono, S.H., M.Hum., menilai disertasi Juwita menghadirkan gagasan baru yang sangat relevan dengan kondisi perkotaan Indonesia.
“Disertasi Ibu Doktor Juwita Manurung unik dan merupakan persoalan riil, tidak hanya di DKI Jakarta tetapi juga di Surabaya, Medan, hingga Bandung. Selama ini perhatian kita tersita pada sengketa tanah di pedesaan, padahal di perkotaan masalah serupa juga sangat serius,” ungkap Prof. Imam.
Ia menjelaskan bahwa penelitian ini memotret kerentanan masyarakat perkotaan yang menempati tanah negara tanpa dasar hak, atau disebut sebagai rightless people. Kondisi tersebut membuat mereka rawan tergusur ketika kepentingan pengusaha maupun pemerintah hadir.
“Disertasi ini diharapkan memberikan sumbangsih sebagai kebaruan dalam rekonstruksi hukum, terutama menyangkut penataan struktur penguasaan dan pemilikan tanah di perkotaan. Problem ketidakadilan muncul ketika tanah negara dan tanah swasta lebih banyak dikuasai oleh pengusaha maupun pejabat, sementara masyarakat kecil terpinggirkan,” tegasnya.
Harapan Promovenda: Reforma Agraria untuk Kota
Dalam penjelasannya, Dr. Juwita menekankan pentingnya kebijakan pemerintah untuk tidak hanya terfokus pada reforma agraria di pedesaan, melainkan juga di perkotaan. Menurutnya, hal ini krusial untuk menjawab problem serius yang dihadapi penggarap tanah di kota-kota besar.
“Saya berharap hasil penelitian ini tidak hanya berhenti pada kajian akademis, tetapi juga dapat diimplementasikan sebagai dasar kebijakan. Reforma agraria perkotaan penting agar pemerintah tidak sekadar mengeluarkan regulasi, namun juga memastikan penerapannya untuk kesejahteraan masyarakat,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa hukum harus berfungsi lebih dari sekadar aturan tertulis. “Hukum itu harus memiliki manfaat nyata—memberikan keadilan, kepastian hukum, dan pada akhirnya membawa kemakmuran bagi masyarakat,” tambahnya.

Baca juga:
Perkuat Branding Jadi Prioritas Strategis UB
Doktor sebagai Titik Awal
Di akhir ujian terbuka, Prof. Imam memberikan pesan khusus kepada Juwita agar tidak berhenti pada capaian akademik semata.
“Doktor bukan titik akhir, melainkan entry point, pintu pembuka untuk terus mengembangkan apa yang sudah diteliti. Teruslah maju, teruslah memberikan sumbangsih bagi negeri ini yang masih banyak menghadapi persoalan pertanahan,” pesannya.
Ujian terbuka ini tidak hanya menandai lahirnya doktor baru di lingkungan Fakultas Hukum UB, tetapi juga menghadirkan gagasan segar mengenai pentingnya reforma hukum pemanfaatan tanah negara di perkotaan. Kehadiran riset Juwita menjadi refleksi bahwa masalah agraria bukan hanya soal desa, melainkan juga kota—tempat jutaan masyarakat menaruh harap akan keadilan dan kepastian hukum. (nid/tia)