Kanal24, Malang – Dukungan Presiden RI Prabowo Subianto terhadap kemerdekaan Palestina di forum internasional menuai beragam respons. Di satu sisi, pidato Prabowo di Sidang Umum PBB dinilai menegaskan komitmen konstitusional Indonesia untuk berpihak pada bangsa yang terjajah. Namun, dari perspektif akademisi, pengakuan diplomatik saja belum cukup untuk menghentikan konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Pengakuan negara hanyalah gesture simbolik. Penting, tetapi tidak otomatis menghentikan perang dan pendudukan di Gaza,” tegas pakar politik Timur Tengah Universitas Brawijaya, Yusli Effendi, S.IP., M.A., saat menanggapi pernyataan Prabowo pada forum PBB.
Pidato Prabowo yang disampaikan dalam Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai Palestina menekankan solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi. Ia juga menyerukan penghentian kekerasan terhadap warga sipil, khususnya perempuan dan anak-anak, serta menyatakan kesiapan Indonesia mengirim pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB. Bahkan, Prabowo menegaskan Indonesia bersedia mengakui Israel apabila negara itu terlebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina.

Menurut Yusli, sikap ini konsisten dengan mandat konstitusi Indonesia untuk mendukung negara-negara yang terjajah. Namun ia mengingatkan, pernyataan semacam ini seringkali berhenti pada level diplomasi.
“Agar punya efek transformatif, pengakuan harus diikuti tekanan nyata—baik ekonomi, sanksi, maupun langkah militer dari negara-negara besar—yang bisa memaksa Israel menghentikan agresinya,” jelasnya.
Yusli juga menyoroti konteks historis. Ia menegaskan bahwa Inggris, lewat Deklarasi Balfour, justru menjadi salah satu penyebab awal konflik Palestina-Israel karena memberikan janji ganda kepada komunitas Yahudi dan masyarakat Palestina.
“Kalau sekarang Inggris atau Kanada mengakui Palestina, itu bukan tindakan heroik. Itu bagian dari tanggung jawab sejarah mereka,” katanya.
Lebih jauh, Yusli menilai posisi Indonesia sebagai middle power membatasi ruang geraknya. Indonesia tidak memiliki kekuatan militer besar atau pengaruh geopolitik setara Amerika Serikat yang selama ini menjadi pelindung utama Israel. Karena itu, kata Yusli, kontribusi Indonesia lebih banyak berada di jalur diplomasi, advokasi internasional, dan penguatan solidaritas global.
“Pernyataan Presiden Prabowo tetap penting, terutama sebagai dukungan moral dan diplomatik. Tapi tanpa langkah konkret dari kekuatan besar dunia, konflik ini tidak akan berhenti,” pungkasnya.(Din)