Kanal24, Malang – Tantangan kelangkaan air akibat perubahan iklim mendorong Universitas Brawijaya (UB) untuk menguatkan peran riset mahasiswa dan dosen muda. Hal itu ditegaskan dalam The 6th International Conference on Water Resources Development and Environmental Protection (ICWRDEP 2025) yang berlangsung di UB, 27–28 September 2025, dengan partisipasi lebih dari 250 peserta dari tujuh negara.
Kepala Departemen Teknik Pengairan FT UB, Dr. Ir. Runi Asmaranto, ST., MT., IPM, menyebut krisis air harus dilihat bukan hanya sebagai masalah teknis, tetapi juga sosial, ekonomi, dan lingkungan.
“Pengelolaan sumber daya air menghadapi tiga asas penting: kesetaraan sosial, efisiensi ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Tantangan terbesarnya adalah perubahan iklim. Karena itu, inovasi dari perguruan tinggi sangat penting,” ujarnya.
Riset Dosen Muda dan Inovasi Teknologi
Menurut Runi, dosen-dosen muda UB kini tengah mengembangkan berbagai riset strategis, mulai dari pemanfaatan mangrove untuk meredam gelombang laut, teknologi injection well untuk konservasi air, hingga rekayasa drainase perkotaan yang adaptif terhadap iklim ekstrem.

“Mahasiswa dan dosen muda harus menguasai teknologi baru seperti artificial intelligence dan IoT untuk mendukung pengelolaan air. Kompleksitas masalah air tidak bisa diselesaikan satu disiplin saja, tapi dengan kolaborasi lintas bidang,” tambahnya.
Ia menekankan, perubahan perilaku masyarakat juga krusial. Persoalan banjir perkotaan misalnya, tidak bisa hanya diselesaikan dengan memperlebar saluran, tetapi juga dengan kepedulian warga menjaga kebersihan sungai serta penegakan hukum sempadan.
Kolaborasi Global dan Peran Mahasiswa
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik UB, Dr.Eng. Ir. Indradi Wijatmiko, S.T., M.Eng.(Prac)., ASEAN Eng., menegaskan riset UB semakin diarahkan pada kolaborasi global dan interdisipliner.
“Beberapa research group kami sudah bekerja sama dengan universitas luar negeri, seperti Kyoto University, Tokyo University, hingga mitra di Belanda. Fokusnya tetap pada masalah lokal seperti banjir, tapi dengan perspektif global dan solusi inovatif,” jelas Indradi.

Ia mencontohkan kerja sama dengan Jepang dalam proteksi infrastruktur dari banjir besar, serta dengan Belanda terkait sistem drainase perkotaan. Belanda disebut sebagai rujukan penting karena meski intensitas hujan tinggi, mereka berhasil membangun sistem drainase yang minim risiko banjir.
Selain itu, UB juga memberi kesempatan luas bagi mahasiswa melalui program Kampus Berdampak. “Mahasiswa bisa magang di perusahaan atau lembaga yang bergerak di bidang keairan, sehingga mereka paham masalah nyata dan bisa mencari solusi lewat riset mereka,” ujar Indradi.
Solusi Berbasis Riset Akademik
Runi maupun Indradi menekankan, riset UB tidak boleh berhenti pada tataran akademik. Networking dengan universitas terkemuka dunia, pemerintah, dan industri harus diterjemahkan menjadi aksi nyata di masyarakat.
“Riset dan ide mahasiswa harus bisa diimplementasikan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konferensi ini menjadi ruang untuk berbagi pengetahuan, membangun kolaborasi, dan mendorong lahirnya solusi konkret,” kata Runi.
Dengan 103 abstract submissions dan 71 full paper submissions, ICWRDEP 2025 memperlihatkan semangat kolaborasi akademik yang kuat. UB menegaskan diri bukan hanya sebagai tuan rumah, tetapi juga motor penggerak riset keairan yang relevan dengan tantangan global.
“Air adalah urusan semua orang. Karena itu, mahasiswa, dosen, pemerintah, hingga masyarakat harus bekerja bersama. Hanya dengan kolaborasi, kita bisa menghadapi krisis air masa depan,” pungkas Indradi.(Din)