Kanal24, Malang – Dampak perubahan iklim kian nyata, ditandai dengan intensitas curah hujan yang meningkat dan ancaman banjir yang semakin sering melanda kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Chaiwat Ekkawatpanit dari King Mongkut’s University of Technology Thonburi, Thailand, saat menjadi pembicara di The 6th International Conference on Water Resources Development and Environmental Protection (ICWRDEP 2025) yang digelar di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Minggu (28/9/2025).
Dalam pemaparannya, Dr. Chaiwat menekankan pentingnya sistem pemantauan dan peringatan dini banjir yang lebih adaptif. Menurutnya, pengumpulan data dan kemampuan prediksi yang akurat adalah fondasi utama agar peringatan dapat segera diberikan kepada masyarakat lokal.
“Salah satu hal paling penting adalah sistem peringatan dini. Kita perlu waktu untuk mengumpulkan data, melakukan prakiraan, dan segera memberi peringatan kepada masyarakat,” ujarnya.
Baca juga : Dosen Muda dan Mahasiswa UB Jadi Ujung Tombak Riset Krisis Air
AI Lebih Efektif daripada Model Konvensional
Ia menjelaskan bahwa pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) kini membuka peluang baru dalam manajemen risiko banjir. AI tidak hanya mampu mengolah data dalam jumlah besar, tetapi juga memberikan evaluasi yang lebih cepat dan akurat terhadap potensi banjir dan ketinggian muka air dibandingkan model hidrodinamika tradisional.
“AI bisa bekerja lebih baik dibandingkan model hidrodinamika. Dengan data yang terkumpul, AI dapat mengevaluasi area rawan banjir dan ketinggian air, lalu memberikan peringatan tepat waktu,” tambahnya.
Tantangan Banjir dan Kekeringan di Thailand
Menggambarkan kondisi di negaranya, Dr. Chaiwat menyebut Thailand kini menghadapi dua tantangan utama akibat perubahan iklim: banjir dan kekeringan. Intensitas curah hujan semakin tinggi, sementara durasi musim hujan semakin pendek. Situasi ini membuat Sungai Chao Phraya, yang melintasi Bangkok, kerap meluap dan menyebabkan banjir di wilayah utara ibu kota Thailand.
“Saat ini di bagian utara Bangkok sudah mulai terjadi banjir. Ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim memperparah tantangan pengelolaan sumber daya air,” ungkapnya.
Solusi Struktural dan Non-Struktural
Lebih lanjut, Dr. Chaiwat menekankan perlunya pendekatan ganda: struktural dan non-struktural. Dari sisi struktural, Thailand telah membangun berbagai infrastruktur untuk mengurangi risiko banjir. Namun, langkah non-struktural seperti sistem peringatan dini yang berbasis data tetap menjadi kunci untuk menyelamatkan masyarakat sebelum bencana terjadi.
“Kita bisa membangun banyak infrastruktur, tapi memberi peringatan lebih awal kepada masyarakat lokal akan jauh lebih efektif untuk menyelamatkan mereka,” jelasnya.
Apresiasi pada ICWRDEP 2025
Dr. Chaiwat menyampaikan apresiasinya terhadap forum ICWRDEP 2025 yang menurutnya menjadi wadah penting memperluas kerja sama lintas negara.
“Konferensi ini luar biasa. Kolaborasi seperti ini penting, bukan hanya di tingkat departemen atau fakultas, tapi juga universitas, agar kita bisa memperluas kerja sama ke depan,” katanya.
Melalui konferensi internasional ini, para akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai negara diharapkan dapat memperkuat jejaring untuk menghadirkan solusi nyata terhadap krisis air dan tantangan lingkungan global.(Din)