Kanal24 – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi meluncurkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai sistem penilaian baru pengganti Ujian Nasional (UN). Kebijakan ini tertuang dalam Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025 dan mulai berlaku pada tahun ajaran ini untuk siswa kelas 12 SMA/SMK. Pemerintah menegaskan, TKA tidak menjadi syarat kelulusan, melainkan berfungsi sebagai alat ukur capaian akademik sekaligus dasar seleksi jalur prestasi menuju pendidikan tinggi.
Sejak pendaftaran dibuka pada akhir Agustus lalu, animo peserta terbilang tinggi. Lebih dari dua juta siswa telah mendaftar mengikuti TKA, sementara simulasi yang disediakan secara gratis melalui fitur “Ayo Coba TKA” juga ramai diakses. Pemerintah menggarisbawahi bahwa tes ini bebas biaya, sehingga tidak boleh ada pungutan tambahan dari sekolah kepada siswa maupun orang tua.
Antara Harapan dan Risiko Ketimpangan
Namun, di balik semangat perubahan, kebijakan ini juga menimbulkan banyak pertanyaan kritis. Sebagian pihak menyambut positif langkah Kemendikdasmen yang berusaha menghadirkan sistem penilaian lebih objektif, terukur, dan inklusif. Dengan TKA, pemerintah berharap bisa mengurangi tekanan ujian nasional yang selama ini dianggap membebani siswa sekaligus menekan peluang kecurangan seperti perjokian atau kebocoran soal. Bahkan, TKA diproyeksikan menjadi basis baru bagi Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan jalur penerimaan sekolah.
Meski demikian, tak sedikit pula yang meragukan kesiapan infrastruktur di lapangan. Sejumlah sekolah di daerah terpencil masih terbatas fasilitasnya, mulai dari komputer hingga jaringan internet, padahal TKA menuntut standar teknis tertentu. Jika hal ini tidak diatasi, kebijakan yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru bisa memperlebar jurang ketimpangan antarwilayah.
Tekanan Psikologis dan Potensi Penyalahgunaan
Kritik lain datang dari kalangan psikolog pendidikan yang menilai meski secara resmi TKA tidak diwajibkan untuk kelulusan, secara sosial siswa tetap akan merasakan tekanan. Nilai TKA yang dijadikan dasar seleksi prestasi dan masuk perguruan tinggi dikhawatirkan memunculkan stigma baru bagi siswa yang nilainya rendah atau tidak mengikuti tes sama sekali. Situasi ini berpotensi menambah beban psikologis, terutama bagi mereka yang sudah menghadapi tantangan berat di bangku sekolah.
Perdebatan juga mengemuka soal dihapusnya penggunaan rapor dalam jalur prestasi, yang digantikan nilai TKA. Padahal, rapor tidak hanya merekam nilai akademik, tetapi juga perkembangan karakter dan kompetensi non-akademik siswa yang selama ini menjadi bagian penting dalam pendidikan. Kritik ini menyoroti risiko penyempitan makna prestasi hanya pada kemampuan kognitif semata.
Jalan Panjang Menjamin Keadilan Pendidikan
Meski masih di tahap awal, pelaksanaan TKA akan menjadi tolok ukur penting arah reformasi evaluasi pendidikan di Indonesia. Jika sistem ini mampu dijalankan dengan adil, transparan, dan setara bagi seluruh siswa dari berbagai latar belakang, maka TKA bisa menjadi langkah maju menggantikan warisan Ujian Nasional yang penuh kontroversi.
Namun, jika masalah teknis, ketimpangan akses, dan tekanan sosial tidak ditangani serius, TKA justru berisiko menjadi sumber masalah baru yang memperdalam kesenjangan pendidikan. Pemerintah kini dituntut tidak hanya meluncurkan kebijakan, tetapi juga memastikan kesiapan ekosistem pendidikan agar transformasi ini benar-benar berpihak pada siswa.(Din)