Kanal24, Malang – Kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa masih sering terhalang oleh stigma sosial dan keterbatasan akses layanan psikologis. Untuk menjembatani hal tersebut, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) menghadirkan ruang alternatif melalui seni dalam acara Pameran Lukisan Kesehatan Jiwa “Festival Health Awareness Break The Stigma”, yang digelar di Malang Creative Center, Lt.4 Ruang Seni, pada Jumat (26/9/2025) hingga Minggu mendatang.
Bahasa Visual dalam Terapi
Salah satu narasumber, Dr. Alif Sukma Muclisin, S.Pd., M.Pd., CTRS, menyoroti karya seni dalam pameran ini dari perspektif terapi visual. Menurutnya, banyak lukisan yang dapat dengan mudah diinterpretasikan karena mengandung komposisi bentuk, warna, dan tulisan yang biasanya digunakan dalam praktik terapi.
Baca juga:
Penelitian terbaru: Google dan AI Bisa Matikan Orisinalitas

“Di salah satu lukisan, ada tulisan ‘aku juga belajar untuk mengerti’ lalu ada kata ‘miss you’ yang dicoret menjadi ‘miss you aku’, serta gambar rumah dan dua orang. Itu jelas menggambarkan sebuah hubungan, bagaimana seseorang belajar memahami diri dan orang lain. Ini contoh penggunaan teknik art therapy atau yang saya sebut visual terapeotika,” jelas Dr. Alif.
Ia menekankan bahwa bahasa visual memiliki kelebihan dibanding bahasa verbal, karena lebih bebas dan tidak terbatas oleh label emosi. “Bahasa sehari-hari hanya mengenal sedih, marah, bahagia. Tapi lewat visual, kita bisa mengekspresikan perasaan yang bahkan tak punya label. Warna merah tidak selalu berarti marah, biru tidak selalu tenang. Interpretasinya bisa berbeda pada setiap orang,” tambahnya.
Membuang Residu Emosi
Dr. Alif juga menjelaskan bahwa visual terapeotika bisa digunakan oleh siapa saja, bahkan mereka yang secara psikologis dinilai sehat. Baginya, melukis dan berkreasi adalah cara membersihkan “residu” emosi yang tersimpan dalam diri.
“Setiap manusia pasti menyimpan residu, atau saya sebut sampah sosial. Kadang kita tidak sadar bagaimana cara mengeluarkannya. Bahasa verbal terbatas, tapi bahasa visual memungkinkan kita melepas semua yang tersisa. Saya sendiri masih menggunakan metode ini, meskipun kondisi mental saya sehat,” ungkapnya.
Visual terapiotika, lanjutnya, dapat menjadi bentuk komunikasi alternatif bagi mereka yang enggan atau takut berkonsultasi langsung ke psikolog. “Kamu bisa mulai dari dirimu sendiri. Ekspresikan saja lewat karya, jangan takut di-judge. Kalau memang belum cukup, barulah datang ke psikolog. Yang penting jangan takut untuk mengatasi masalahmu,” tegas Dr. Alif.
Harapan untuk Kesadaran Publik
Melalui festival ini, Dr. Alif berharap masyarakat semakin sadar bahwa seni dapat menjadi jembatan untuk menyehatkan jiwa. Menurutnya, penting bagi setiap orang untuk berani mengekspresikan perasaan, baik melalui kata-kata, warna, maupun simbol.
Baca juga:
Toilet Pesawat Bisa Jadi Sistem Peringatan Superbug
“Karya seni adalah cara untuk mengenali diri sendiri. Jangan takut dicap atau dinilai. Justru dari situ kita bisa lebih peka terhadap emosi dan lebih peduli terhadap kesehatan mental,” pungkasnya.
Dengan memadukan pameran seni, seminar, dan riset aksi, KPSI melalui festival ini ingin menunjukkan bahwa kesehatan jiwa bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga menjadi bagian dari perayaan hidup bersama. (nid/dpa)