Kanal24, Malang – Musik kerap dianggap sebagai sarana hiburan dan pelipur lara bagi pendengarnya. Namun, bagi sebagian musisi, menciptakan lagu lebih dari sekadar menghasilkan karya—ia adalah jalan penyembuhan, bentuk rekonsiliasi dengan masa lalu, bahkan media untuk mengurai luka batin.
Perjalanan Miley Cyrus menjadi contoh paling nyata. Kehidupan keluarga sang diva pop sejak lama penuh keruwetan. Ayahnya, Billy Ray Cyrus, kerap disebut sebagai pusat ketegangan di keluarga. Sejak perceraiannya dengan Tish pada 2022, relasi Billy dengan kelima anaknya sempat renggang. Namun, memasuki 2025, situasi mulai mencair. Miley secara terbuka mengakui bahwa ia perlahan belajar menerima sang ayah.
“Aku kira waktu yang tepat adalah segalanya. Semakin dewasa, aku menghormati keduanya sebagai individu alih-alih sebagai orang tua,” ungkapnya dalam wawancara dengan The New York Times pada Mei lalu.
Baca juga:
Malang Fashion Week 2025 Dorong Inovasi Digital dan Ekonomi Hijau
Perubahan ini terwujud dalam perilisan lagu terbaru Miley, Secrets, pada 19 September 2025. Dalam unggahannya di media sosial, ia menulis, “Lagu ini ditulis sebagai tawaran damai kepada seseorang yang telah hilang dariku, tapi cintanya menetap. Lagu ini kupersembahkan untukmu, Ayah.” Musik menjadi jembatan pengampunan sekaligus simbol kebebasan emosional. Fenomena serupa dialami musisi lain. Jessie J., misalnya, menemukan kembali semangat hidup lewat musik setelah sempat mengalami stroke di usia 17 tahun. Dalam sebuah panel The Voice, ia mengaku, “Aku selalu membutuhkan musik. Aku butuh menulis lagu untuk bertahan. Musik membantuku memahami perasaanku sendiri, itu adalah medium emosional buatku.”
Ariana Grande pun menempuh jalan serupa melalui album Eternal Sunshine (2024). Video musik Brighter Days Ahead menampilkan dirinya sebagai perempuan tua yang menatap kembali versi mudanya. Kisah tersebut melambangkan pertemuan kembali dengan jati diri setelah melewati masa-masa sulit akibat popularitas dan trauma generasi. Ariana mengisyaratkan bahwa cinta terhadap seni akhirnya menuntunnya pulang kepada dirinya sendiri. Taylor Swift, yang dikenal piawai menulis lagu-lagu personal, menyebut proses kreatifnya sarat dengan momen magis. “Ada sesuatu yang mistis, penuh dengan momen tak terjelaskan ketika ide muncul begitu saja di kepala. Itulah unsur paling murni dalam pekerjaanku,” ujarnya kepada Harper’s Bazaar pada 2018. Lagu-lagu Swift kerap berakar dari pertemuan dengan banyak orang yang meninggalkan jejak emosional dalam hidupnya.
Tak hanya pengalaman individual, penelitian ilmiah juga mendukung gagasan musik sebagai terapi. Felicity Anna Baker dalam artikelnya Songwriting as Solace (2016) meneliti 38 responden yang tengah menjalani perawatan medis. Mereka diminta menulis lagu sebagai bagian dari proses penyembuhan. Hasilnya, lirik yang tercipta memproyeksikan emosi terdalam—dari kehilangan, rasa marah, hingga perayaan kesempatan kedua.
“Musik berfungsi untuk mengekspresikan rasa sakit dan kehilangan, sekaligus sebagai perayaan atas kesempatan kedua,” tulis Felicity dalam kesimpulannya.
Hal ini menunjukkan, musik bekerja dua arah. Bagi musisi, menulis dan menyanyikan lagu adalah bentuk katarsis dan penyembuhan. Bagi pendengar, karya tersebut menjadi resonansi personal yang menghibur, menguatkan, bahkan menyelamatkan di tengah situasi sulit. Tak berlebihan jika musik disebut katalis emosi. Ia memungkinkan seseorang melepaskan perasaan yang tak mudah diungkapkan secara verbal. Bagi Miley, Jessie J., Ariana, maupun Taylor Swift, musik bukan hanya karier, melainkan perjalanan terapeutik. Pada akhirnya, musik menyatukan dua sisi: kejujuran musisi dalam mengungkapkan luka dan kebutuhan pendengar untuk merasa ditemani. Ketika lagu dilantunkan, keduanya bertemu di ruang paling manusiawi—ruang di mana kesedihan, kebahagiaan, dan penerimaan bisa berdampingan.
Musik tak hanya mengisi daftar putar harian kita, melainkan juga memberi ruang untuk menyembuhkan, baik bagi pencipta maupun penikmatnya. Di balik setiap melodi dan lirik, tersimpan jejak perjalanan emosi yang mungkin tak pernah terucap, tapi bisa dirasakan bersama. (dpa)










