Kanal24, Malang — Di balik gedung-gedung megah Universitas Brawijaya (UB), terdapat kisah inspiratif dari para mahasiswa penyandang disabilitas yang berjuang menembus batas untuk meraih pendidikan tinggi. Dua di antaranya adalah Sabrina Dewi Cahyani, mahasiswa disabilitas daksa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), dan Khoirul Safaat, mahasiswa disabilitas netra dari jurusan Sosiologi FISIP UB. Mereka berbagi pengalaman, pandangan, dan harapan terhadap lingkungan kampus yang semakin inklusif melalui peran Pusat Layanan Disabilitas (PLD) UB.
Wawancara berlangsung di kantor PLD UB pada Kamis (16/10/2025), di mana keduanya menceritakan perjalanan akademik mereka, pandangan terhadap fasilitas kampus, serta cita-cita yang ingin mereka capai di masa depan.
Baca juga:
PLD UB Dampingi Maba Atur Perjalanan Studi
Semangat Sabrina: Temukan Dukungan dan Persaudaraan di UB
Sabrina Dewi Cahyani, mahasiswa angkatan 2023 jurusan Psikologi FISIP UB, menceritakan perjalanannya yang dimulai dari jalur Seleksi Mandiri Penyandang Disabilitas (SMPD)—program khusus yang diselenggarakan oleh PLD UB untuk membuka akses pendidikan yang lebih luas bagi penyandang disabilitas.

“Menurut saya kuliah di UB ini sangat seru. Saya bisa berkenalan dengan banyak orang hebat, termasuk teman-teman disabilitas lain yang sangat menginspirasi,” tutur Sabrina dengan senyum semangat.
Sebagai mahasiswa daksa, Sabrina mengapresiasi upaya UB dalam menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas. Namun, ia juga menyampaikan harapan agar pemerataan fasilitas di seluruh fakultas dapat lebih diperhatikan. “Fasilitas di UB sudah cukup memadai untuk teman-teman daksa, tapi akan lebih baik kalau diratakan di semua fakultas, bukan hanya satu atau dua yang lengkap,” tambahnya.
Bagi Sabrina, keberadaan PLD UB menjadi ruang aman dan suportif yang membuatnya bisa berkembang. Ia pun berharap ke depannya seluruh fakultas di UB dapat memiliki komitmen yang sama dalam menciptakan lingkungan ramah disabilitas. “Harapan saya semoga semua fakultas di UB bisa ramah disabilitas dan memperbanyak fasilitas yang menunjang kegiatan belajar kami,” ujarnya.
Tentang masa depan, Sabrina mengaku ingin berkarier di bidang sosial, sejalan dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya. “Saya ingin bekerja di bidang yang berhubungan dengan ilmu sosial, mungkin di dinas sosial,” ungkapnya penuh tekad.
Khoirul Safaat: Komunikasi Jadi Kunci Kampus Inklusif
Berbeda dengan Sabrina, Khoirul Safaat, mahasiswa jurusan Sosiologi angkatan 2022, menyandang disabilitas netra. Ia menceritakan bahwa awal kuliahnya di UB memberikan pengalaman yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Saya belum pernah membayangkan seperti apa kuliah itu. Begitu masuk UB, saya benar-benar menemukan banyak hal baru tentang teman, lingkungan, dan apa yang dipelajari,” ujarnya.

Khoirul mengapresiasi peran PLD UB yang menurutnya sudah menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia. “PLD UB sudah cukup bagus, bahkan mungkin termasuk yang paling maju dibandingkan universitas lain,” tuturnya.
Namun, ia juga menekankan pentingnya komunikasi dua arah antara pihak kampus dan mahasiswa disabilitas sebelum membangun fasilitas baru. “Banyak fasilitas yang tiba-tiba sudah ada, tapi belum tentu sesuai kebutuhan kami. Misalnya guiding block, itu bagus, tapi saya sendiri jarang bisa memanfaatkannya karena arah dan fungsinya belum optimal,” jelasnya.
Khoirul mencontohkan kampus lain yang sudah memiliki sistem audio penunjuk lantai di lift atau panduan suara di tiap gedung. “Kalau di UB bisa ada yang seperti itu, tentu akan lebih membantu teman-teman netra. Tapi yang terpenting tetap komunikasi dulu dengan kami sebelum membuat fasilitas,” tegasnya.
Terkait rencana masa depan, Khoirul mengaku tengah menyiapkan diri untuk melanjutkan studi S2 dengan beasiswa. “Target saya ya semoga bisa lanjut lewat LPDP, sambil cari pengalaman kerja juga,” katanya.
PLD UB: Wadah Inklusivitas dan Kesetaraan
Keberadaan Pusat Layanan Disabilitas (PLD) UB menjadi pilar penting dalam mewujudkan kampus yang inklusif. Lembaga ini tidak hanya menyediakan fasilitas fisik seperti ramp, guiding block, atau layanan asistensi belajar, tetapi juga berfungsi sebagai pusat koordinasi antar fakultas agar hak-hak mahasiswa disabilitas tetap terjamin.
Melalui peran PLD, UB terus memperkuat komitmennya untuk menjadi kampus yang ramah bagi semua kalangan. Dukungan ini membuat mahasiswa disabilitas seperti Sabrina dan Khoirul dapat menempuh pendidikan tinggi dengan rasa percaya diri dan semangat yang sama seperti mahasiswa lainnya.
Menatap Masa Depan Tanpa Batas
Kisah Sabrina dan Khoirul adalah cerminan semangat pantang menyerah dan bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih impian. Mereka menunjukkan bahwa dengan dukungan lingkungan yang inklusif, setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi.
Dengan semangat kolaborasi antara PLD, fakultas, dan mahasiswa, Universitas Brawijaya terus melangkah menuju visi kampus inklusif yang tidak hanya menyediakan akses, tetapi juga menciptakan ruang setara bagi seluruh civitas akademika — sebuah kampus tempat setiap suara, tanpa kecuali, dapat didengar dan dihargai. (nid/tia)










