Kanal24, Malang – Redenominasi rupiah menjadi perbincangan hangat setelah pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan direalisasikan dalam dua tahun ke depan sebagai bagian dari program strategis nasional. Prof. Setyo Tri Wahyudi, S.E., M.Ec., Ph.D., Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya (UB), kepada Kanal24 pada Selasa (12/11/2025)menilai bahwa kondisi makroekonomi dan kepercayaan publik saat ini sudah cukup stabil untuk mendukung pelaksanaan redenominasi.
Menurutnya, redenominasi bukanlah isu baru. Beberapa negara seperti Rusia, Islandia, Bolivia, dan Peru telah lama menerapkan kebijakan serupa sebagai bagian dari reformasi moneter. “Secara sederhana, redenominasi hanya menyederhanakan nominal mata uang tanpa mengubah daya beli. Jadi nilai tukar dan harga barang sebenarnya tetap sama,” jelas Prof. Setyo.
Baca juga:
Rupiah Dipangkas Nol: Era Baru Uang Indonesia

Ia menegaskan, penyederhanaan nominal dari Rp100.000 menjadi Rp100 misalnya, tidak akan memengaruhi daya beli masyarakat karena yang berubah hanyalah angka, bukan nilai ekonominya. Namun, tantangan terletak pada aspek psikologis dan kebiasaan masyarakat yang sudah terbiasa dengan angka besar dalam transaksi sehari-hari.
Sosialisasi dan Masa Transisi yang Kritis
Prof. Setyo menekankan bahwa keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada sosialisasi pemerintah dan masa transisi yang realistis. Pemerintah diperkirakan akan mencetak uang baru tanpa mengubah warna atau desain secara drastis agar masyarakat tidak bingung saat peralihan. “Selama warna dan bentuk uang tidak berubah signifikan, masyarakat tidak akan terganggu secara psikologis,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa masa transisi sebaiknya berlangsung selama lima tahun. Dalam periode tersebut, uang lama dan uang baru masih bisa digunakan bersamaan sebelum uang lama ditarik sepenuhnya dari peredaran. Pemerintah juga harus memastikan infrastruktur digital dan perbankan siap menyesuaikan sistem, termasuk pembaruan pada mesin ATM, kasir elektronik, hingga sistem akuntansi.
Selain itu, proses redenominasi membutuhkan biaya besar karena pemerintah harus mencetak dan mendistribusikan uang baru, serta menarik uang lama dari masyarakat. Namun, menurut Prof. Setyo, tantangan tersebut kini lebih mudah diatasi karena masyarakat sudah semakin terbiasa dengan transaksi digital dan non-tunai. “Kita tidak perlu mencetak uang dalam jumlah besar karena banyak transaksi kini berlangsung secara elektronik,” imbuhnya.
Risiko Inflasi dan Perilaku Pelaku Usaha
Meski secara teori redenominasi tidak berdampak pada inflasi, Prof. Setyo mengingatkan adanya potensi kenaikan harga akibat perilaku pelaku usaha yang cenderung melakukan pembulatan harga ke atas. Misalnya, harga barang yang semula Rp18.800 bisa dibulatkan menjadi 19 rupiah setelah redenominasi, yang secara kumulatif bisa meningkatkan inflasi.
“Risiko inflasi bukan berasal dari kebijakan redenominasi itu sendiri, tapi dari perilaku pelaku usaha yang memanfaatkan perubahan nominal untuk menaikkan harga,” jelasnya. Oleh sebab itu, pengawasan dan edukasi publik menjadi sangat penting agar masyarakat memahami bahwa nilai mata uang tidak berubah dan tidak panik menghadapi perubahan angka pada transaksi.
Ia juga mengingatkan bahwa perubahan nominal seharusnya tidak menjadi alasan untuk spekulasi harga. Pemerintah dan otoritas terkait perlu memastikan agar proses transisi berjalan tertib, transparan, dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Tantangan Produktivitas dan Esensi Kebijakan
Lebih jauh, Prof. Setyo menilai bahwa redenominasi tidak serta-merta akan memperbaiki kondisi ekonomi nasional secara substansial. Ia menegaskan bahwa keberhasilan ekonomi tetap ditentukan oleh peningkatan produktivitas, daya saing industri, penciptaan lapangan kerja, serta kualitas sumber daya manusia.
“Redenominasi tidak mengubah apa pun secara mendasar. Tantangan terbesar tetap pada peningkatan produktivitas nasional dan perbaikan sektor riil,” tegasnya. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak beranggapan bahwa redenominasi akan otomatis membuat hidup lebih sejahtera.
Bagi pemerintah, fokus utama tetap harus diarahkan pada pemberdayaan UMKM, kemudahan akses permodalan, serta peningkatan daya beli masyarakat. “Kalau kita berharap redenominasi membuat harga lebih murah atau pendapatan meningkat, itu keliru. Yang berubah hanyalah cara kita menulis angka, bukan daya beli riil masyarakat,” jelasnya.
Momentum Edukasi dan Modernisasi Sistem Keuangan
Prof. Setyo menutup pandangannya dengan optimisme bahwa redenominasi dapat menjadi momentum edukasi publik dan modernisasi sistem keuangan nasional. Masyarakat kini sudah terbiasa dengan penggunaan angka singkat seperti “10K” atau “30K” dalam transaksi digital, yang menunjukkan kesiapan budaya terhadap penyederhanaan nominal rupiah.
“Ini saat yang tepat untuk memperkuat literasi keuangan dan mempercepat transformasi menuju ekonomi digital. Redenominasi hanyalah langkah administratif, tapi dampak sosial dan psikologisnya bisa positif jika dijalankan dengan cermat,” pungkasnya.
Dengan demikian, keberhasilan redenominasi rupiah tidak hanya bergantung pada kebijakan moneter, melainkan juga pada kesiapan mental, literasi ekonomi, serta kepercayaan publik terhadap stabilitas dan arah pembangunan nasional. (nid/yor)










