Kanal24, Malang – Peran perempuan dalam sejarah Nusantara sering kali menjadi pintu masuk untuk memahami wujud kepemimpinan yang tidak selalu tampak, tetapi memiliki pengaruh besar dalam arah kebijakan dan stabilitas kerajaan. Hal ini menjadi benang merah yang disampaikan oleh Novrida Qudsi Lutfillah, pemakalah yang mengangkat sosok Gayatri Rajapatni—tokoh sentral dalam sejarah Majapahit—untuk melihat bagaimana perempuan mampu memimpin tanpa harus menampakkan kuasa secara langsung. Materi ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Wilwatikta Acarita 2025, yang bertempat di Aula Gedung A Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Kamis (13/11/2025).
Dalam pemaparannya, Novrida menyoroti dinamika kepemimpinan perempuan Majapahit, strategi politik Gayatri, serta nilai-nilai kepemimpinan yang dapat diterapkan di masa kini, termasuk relevansinya di bidang akuntansi sebagai disiplin profesional modern.
Baca juga:
FPIK UB Inisiasi Gerakan Kampus Sehat Mental di Tengah Tekanan Akademik
Peran Sentral Gayatri dalam Konsolidasi Kekuasaan Majapahit
Novrida mengawali materinya dengan menggambarkan posisi Gayatri Rajapatni sebagai figur penting di balik kejayaan Majapahit, meski ia tidak tampil sebagai pemimpin secara formal. Gayatri adalah putri dari Kertanegara, raja terakhir Singosari yang dikenal dengan wawasan Mandala dan upayanya memperluas wilayah kekuasaan. Nilai-nilai kepemimpinan tersebut menurut Novrida diwariskan kepada Gayatri dan kemudian diteruskan kepada putrinya, Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
Gayatri menjalankan perannya sebagai pemimpin yang tidak harus tampak berkuasa. Melalui pengasuhan dan pendidikan bagi Tribhuwana, ia mempersiapkan generasi penerus Majapahit yang mampu memimpin kerajaan secara progresif. Masa pemerintahan Tribhuwana menjadi momentum penting dalam memperluas wilayah Majapahit serta meningkatkan stabilitas ekonomi melalui perdagangan.
Ekspansi teritorial tersebut membuka hubungan dagang internasional, termasuk dengan bangsa Tiongkok, sehingga Majapahit tidak lagi bergantung pada jaringan internal. Keterlibatan Gayatri dalam proses ini menunjukkan pengaruh besar perempuan dalam arah kebijakan kerajaan, meski tidak tercatat secara eksplisit dalam struktur kekuasaan.
Kepemimpinan Perempuan dalam Struktur Sosial Majapahit
Dalam sesi tanya jawab, Novrida menjelaskan bahwa Majapahit tidak mengenal konsep subordinasi perempuan seperti yang sering diasosiasikan dengan masyarakat patriarkis masa kini. Ia memaparkan data menarik bahwa dari 14 daerah kekuasaan lokal, sembilan di antaranya dipimpin oleh perempuan.
Hal ini membuktikan bahwa Majapahit memberi ruang besar bagi perempuan untuk memegang otoritas politik dan administratif. Menurut Novrida, model kepemimpinan semacam ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah pemerintahan, mengambil keputusan strategis, hingga mengelola sumber daya ekonomi.
“Tidak ada istilah laki-laki lebih unggul dari perempuan. Majapahit justru menunjukkan bagaimana keduanya dapat berdiri sejajar,” ujarnya.
Nilai-Nilai Kepemimpinan Gayatri yang Relevan bagi Profesi Modern
Salah satu pokok penting materi Novrida adalah penekanan pada nilai-nilai yang diwariskan Gayatri, yang menurutnya dapat menjadi pedoman bagi profesi masa kini, termasuk akuntansi. Ia menyinggung nilai Paramita—nilai kebajikan yang mencerminkan kemampuan mengelola kuasa bukan sebagai dominasi, tetapi sebagai tanggung jawab moral.
Nilai kuasa transendental yang ditekankan Gayatri menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak hanya berlandaskan aspek material, tetapi juga spiritual. Hubungan dengan “sang pemilik jagat”, kata Novrida, menjadi pilar integritas yang mengikat seorang pemimpin pada etika.
Dalam konteks profesi akuntan, ia menegaskan bahwa nilai-nilai tersebut penting untuk menjaga kejujuran dan tanggung jawab. Akuntan berada pada posisi yang rentan terhadap penyalahgunaan kuasa, politik, dan manipulasi keuangan. Karena itu, memulihkan jati diri Nusantara dalam profesi akuntansi merupakan hal yang menurutnya krusial.
“Nilai Gayatri adalah nilai yang seharusnya melekat pada jiwa seorang akuntan—nilai integritas, ketelitian, dan kepekaan moral,” tegasnya.
Warisan Perempuan Majapahit bagi Generasi Kini
Novrida menutup materinya dengan harapan bahwa generasi masa kini dapat mempelajari kembali nilai-nilai kepemimpinan dari tokoh-tokoh perempuan Majapahit. Warisan terbesar yang dapat dipetik bukan dalam bentuk artefak, tetapi nilai kebijaksanaan, integritas, serta kemampuan memimpin tanpa dominasi.
Ia menilai bahwa pemahaman terhadap sejarah Majapahit dapat membantu membangun karakter pemimpin modern yang lebih bijak, kolaboratif, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Dengan mengangkat Gayatri Rajapatni dalam perspektif akuntansi dan kepemimpinan, pemakalah ini menghadirkan sudut pandang baru mengenai bagaimana nilai sejarah dapat hidup kembali dalam praktik profesional kontemporer. (nid/ptr)










