Kanal24, Malang – Kedudukan perempuan dalam struktur sosial dan politik Nusantara kerap dipersepsikan melalui kacamata modern, yang tidak jarang terpengaruh narasi kolonial maupun perdebatan kontemporer mengenai feminisme. Namun, melalui materi yang disampaikan oleh Titi Surti Nastiti, Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, terungkap bahwa sejarah Indonesia justru menunjukkan jejak kuat kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan sejak era Mataram Kuno hingga Majapahit. Melalui penjelasan yang kaya sumber naskah dan prasasti, ia menegaskan bahwa perempuan Nusantara telah lama memegang posisi kepemimpinan strategis, baik di pusat kerajaan maupun pemerintahan desa.
Materi ini disampaikan dalam Seminar Nasional Wilwatikta Acarita 2025, yang bertempat di Aula Gedung A Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Kamis (13/11/2025). Acara tersebut menghadirkan sejumlah akademisi untuk membedah jejak kepemimpinan perempuan dari berbagai era sejarah Indonesia.
Baca juga:
Usus Ayam Jadi Cuan: Dosen STIE MalangkuƧeƧwara Dorong Ekonomi Warga Argosari
Jejak Kesetaraan dalam Struktur Kekuasaan Nusantara
Dalam pemaparan awalnya, Titi menegaskan bahwa pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit tidak ditemukan dikotomi yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Raja, ratu, putra mahkota, hingga pejabat desa tidak ditentukan berdasarkan gender, melainkan garis keturunan atau pemilihan masyarakat.
Ia mencontohkan bagaimana jabatan putri mahkota ditentukan berdasarkan status anak dari permaisuri, bukan berdasarkan jenis kelamin. āBaik anak laki-laki atau anak pertama memiliki hak. Anak perempuan dari permaisuri pun bisa menjadi pewaris tahta,ā ungkapnya.
Salah satu kisah yang ia angkat adalah drama suksesi Majapahit yang melibatkan Bhre Daha, putri dari Cakradhara. Karena merasa tidak mampu memegang jabatan sebagai putri mahkota, ia menyerahkan posisi tersebut kepada suaminya, Wikramawardhana. Keputusan ini memicu kecemburuan dan memunculkan Perang Paregregāperistiwa penting yang menunjukkan betapa strategisnya posisi perempuan dalam dinamika politik kerajaan.
Bukti Kesetaraan dari Prasasti dan Naskah Kuno
Titi menekankan bahwa bukti-bukti kesetaraan ini tidak bersifat spekulatif, tetapi tercatat jelas dalam berbagai prasasti dan catatan sejarah. Salah satu yang paling menarik adalah Prasasti Waringin Pitu, yang mencatat bahwa dari 16 penguasa daerah, sembilan di antaranya adalah perempuan.
Selain itu, dalam naskah Rasmi Raja, tercatat bahwa lima generasi penguasa wilayah Asem adalah perempuan. Temuan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah pengecualian, melainkan bagian dari tradisi sosial-politik Nusantara.
āMajapahit memberi ruang besar bagi perempuan untuk memegang kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun lokal,ā tegas Titi.
Perubahan Perspektif pada Masa Islam dan Kolonial
Dalam sesi diskusi, Titi juga mengulas perubahan pandangan terhadap perempuan pada masa-masa selanjutnya. Ia menekankan bahwa masa Islam bukanlah penyebab menurunnya posisi perempuan, karena justru banyak kerajaan Islam di Nusantara yang dipimpin oleh perempuan. Beberapa kerajaan seperti Aceh bahkan memiliki ratu berturut-turut.
Namun, ia menyoroti bahwa pada masa kolonial Belanda mulai muncul pepatah-pepatah yang merendahkan perempuan, seperti stereotip ākonco wingkingā. Menurutnya, pandangan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh budaya kolonial Eropa, yang pada masanya memiliki kesenjangan gender sangat lebar sehingga melahirkan gerakan feminisme.
āJika ada nilai-nilai yang tiba-tiba merendahkan perempuan dalam budaya Jawa, kita harus kritis melihat apakah itu benar berasal dari tradisi kita, atau pengaruh kolonial,ā ujarnya.
Refleksi untuk Perempuan Masa Kini
Menutup pemaparannya, Titi menyampaikan harapan agar generasi sekarang memahami kembali identitas historis bangsa yang menjunjung harmoni, keseimbangan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Menurutnya, keberadaan kuota 30ā40% perempuan dalam lembaga legislatif bukanlah karena perempuan tidak mampu, melainkan karena semakin sedikit perempuan yang bersedia terlibat di ruang publik. Pertanyaan mendasarnya justru: mengapa perempuan modern enggan mengambil peran yang dahulu dikuasai perempuan Nusantara tanpa hambatan?
Titi menegaskan pentingnya kembali mempelajari sejarah sebagai fondasi pembentukan jati diri bangsa. āSeperti pesan Bung Karno: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Dengan memahami masa lalu, kita tahu siapa diri kita sebenarnya.ā
Dengan demikian, materi yang ia sampaikan membuka wawasan historis dan juga menjadi ajakan untuk merefleksikan kembali esensi kesetaraan gender yang telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak berabad-abad lalu. (nid/ptr)










