Kanal24, Malang – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) membawa banyak manfaat, namun juga menghadirkan tantangan serius berupa meningkatnya persebaran misinformasi, disinformasi, dan hoaks. Hal ini menjadi perhatian para akademisi, termasuk Isma Adilla, S.I.Kom., MA., Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya (UB), yang menegaskan pentingnya kemampuan literasi digital sebagai keterampilan wajib bagi mahasiswa dan masyarakat luas saat ini. Materi tersebut ia sampaikan dalam agenda workshop peningkatan kapasitas pengecekan fakta dan literasi digital.
Kegiatan ini merupakan bagian dari acara “Fact-checking: How to tackle AI disinformation?” yang diselenggarakan oleh DWGoesToCampus pada Kamis (13/11/2025), bertempat di Gedung B Lantai 7, Auditorium Nuswantara FISIP UB. Agenda ini merupakan rangkaian kegiatan DW Indonesia yang setiap tahun berkeliling kampus di seluruh Indonesia, dan pada tahun 2025, Universitas Brawijaya menjadi tuan rumah.
Baca juga:
Persiapkan Diri Menuju Dunia Kerja: Dian Eko Wicaksono Tekankan Pentingnya Hard Skill dan Soft Skill
AI dan Tantangan Disinformasi yang Semakin Kompleks
Dalam pemaparannya, Isma Adilla menjelaskan bahwa DW Indonesia yang bermarkas di Jerman kini aktif menjalin kemitraan dengan berbagai kampus Indonesia untuk memperkuat pemahaman masyarakat mengenai hoaks dan manipulasi informasi, khususnya yang dipengaruhi oleh teknologi AI.
Ia menyampaikan bahwa disinformasi saat ini menjadi lebih kompleks karena teknologi AI mampu menghasilkan konten palsu berbentuk teks, gambar, hingga audio-video yang sulit dibedakan dari konten asli. Oleh karena itu, kemampuan mengenali informasi palsu tidak lagi bersifat opsional, melainkan kewajiban bagi seluruh pengguna internet.
Menurutnya, mahasiswa sebagai agent of change memiliki peran strategis dalam memperkuat budaya literasi digital. Setelah mengikuti workshop ini, mahasiswa diharapkan dapat menjadi penyebar informasi yang benar, baik di lingkungan terdekat seperti keluarga maupun melalui komunitas digital yang lebih luas.
Training for Trainer: Membangun Kapasitas Akademisi dan Mahasiswa
Kegiatan DWGoesToCampus di FISIP UB telah berlangsung sejak Selasa, diawali dengan Training for Trainer (ToT) yang ditujukan bagi dosen-dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Melalui ToT tersebut, para dosen dibekali pemahaman mendalam tentang proses identifikasi misinformasi, disinformasi, dan hoaks yang diproduksi di era AI.
Isma menjelaskan bahwa ToT menjadi tahap penting sebelum workshop mahasiswa, karena dosen—sebagai pendidik—memiliki peran besar dalam memastikan keberlanjutan upaya literasi digital dalam kurikulum dan aktivitas akademik. Dengan peningkatan kapasitas tersebut, proses diseminasi pengetahuan dapat berjalan lebih sistematis dan berkelanjutan.
“Literasi digital ini adalah proyek jangka panjang, bukan sesuatu yang selesai dalam satu kegiatan. Karena itu, penguatan kapasitas harus berjalan dari dosen ke mahasiswa, lalu dari mahasiswa ke masyarakat,” ujar Isma.
Gotong Royong Digital: Kolaborasi Bersama Melawan Hoaks
Salah satu istilah kunci yang disampaikan Isma adalah “gotong royong digital”. Konsep ini menggambarkan bahwa upaya menangkal hoaks dan disinformasi merupakan tugas kolektif yang memerlukan keterlibatan banyak pihak, mulai dari akademisi, mahasiswa, media, hingga masyarakat umum.
Menurutnya, mahasiswa merupakan elemen penting dalam ekosistem ini. Mereka memiliki kemampuan adaptasi cepat dan akses luas terhadap ruang digital. Ketika mahasiswa memiliki kemampuan literasi digital yang kuat, mereka dapat membantu menyaring informasi, memberikan edukasi kepada orang-orang di sekitarnya, dan berkontribusi pada penyebaran informasi yang lebih sehat.
“DW datang langsung ke kampus untuk memberikan ilmu praktis. Harapannya bukan hanya berhenti di workshop, tetapi mahasiswa menjadi perpanjangan tangan dalam memerangi hoaks di lingkungannya,” tambahnya.
Literasi Digital sebagai Keterampilan Wajib Era AI
Isma menegaskan bahwa AI kini tidak bisa dihindari dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Justru karena itu, literasi digital menjadi keterampilan wajib bagi setiap mahasiswa, bukan hanya bagi mereka yang belajar ilmu komunikasi.
Kemampuan memverifikasi informasi, memahami logika produksi konten digital, dan mengenali pola manipulasi AI merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki generasi muda di era digital. Jika mahasiswa tidak memiliki kemampuan tersebut, mereka rentan menjadi korban sekaligus penyebar informasi palsu tanpa disadari.
Sebaliknya, dengan literasi digital yang kuat, mahasiswa dapat berperan sebagai filter sosial—membantu memastikan bahwa informasi yang beredar di masyarakat tetap sehat, akurat, dan bermanfaat. (nid/tia)









