Kanal24, Malang — Kerumitan persoalan urban dan kebutuhan menghadirkan ruang dialog lintas komunitas menjadi alasan utama digelarnya Festival Sastra Kota Malang 2025. Melalui rangkaian program yang merangkul penulis, pembaca, akademisi, serta masyarakat umum, festival ini diharapkan membangun ekosistem sastra yang lebih berkelanjutan di tengah pertumbuhan kota dan dinamika sosial yang kian kompleks.
Festival Sastra Kota Malang 2025 bertema “Simpang Kata Simpang Kota” diselenggarakan pada 21–23 November 2025 di berbagai titik ruang publik Kota Malang. Acara ini digelar oleh tim Festival Sastra Kota Malang bekerja sama dengan komunitas sastra setempat, serta mendapatkan dukungan resmi dari Program Penguatan Ekosistem Sastra Kementerian Kebudayaan RI.
Baca juga:
Menjaga Diri di Hadapan Si Paling Playing Victim
Penguatan Festival Sastra dari Kementerian Kebudayaan
Dukungan pemerintah pusat untuk festival ini bukan tanpa alasan. Zulkifli Songyanan, perwakilan Tim Penguatan Festival Sastra Kementerian Kebudayaan RI, menegaskan pada Jumat (21/11/2025) bahwa Malang dipilih karena konsistensinya dalam menyelenggarakan festival sastra selama beberapa tahun terakhir. Menurutnya, ada 18 penyelenggara festival dari seluruh Indonesia yang sebelumnya dikumpulkan dalam Konsorsium Pasar Nasional di Makassar, dan Malang menjadi satu-satunya wakil dari Jawa Timur.

“Festival Sastra Kota Malang dipilih karena dalam amatan kami paling konsisten. Mereka terus berjalan, dengan atau tanpa pemerintah, dan itu menunjukkan daya hidup ekosistem sastranya,” ujar Zulkifli.
Ia menjelaskan bahwa Kementerian Kebudayaan kini memiliki program khusus untuk memperkuat ekosistem sastra, salah satunya melalui dukungan terhadap festival sastra daerah. Penguatan ini berada di bawah Direktorat Pengembangan Budaya Digital, Ditjen Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pembinaan Kebudayaan. Harapannya, festival di berbagai kota tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu menciptakan ruang temu lintas sektor.
“Kami berharap festival ini bisa berlanjut, menghidupkan ekosistem sastra, melahirkan penulis baru, dan membuka peluang karya sastra untuk berkembang ke media lain seperti film, teater, dan musik,” tambahnya.
Program Festival: Dari Buku, Musik, hingga Jejak Kota
Ketua Pelaksana Festival Sastra Kota Malang, Denny Mizhar, menjelaskan bahwa festival tahun ini menghadirkan ragam program yang berupaya menggali persoalan urban dan keseharian warga kota. Tema “Simpang Kata Simpang Kota” dipilih sebagai refleksi bahwa kota merupakan titik temu berbagai peristiwa, ide, dan ruang sosial yang saling bersinggungan.
“Kami ingin menumbuhkan ekosistem kesusastraan di Kota Malang, agar siapa pun bisa terlibat dalam sesi-sesi yang kami selenggarakan,” tutur Denny.
Festival tahun ini memuat diskusi buku, penampilan musik, pembacaan puisi, lokakarya cerpen, lokakarya tari, hingga tur jelajah kota. Para peserta lokakarya diajak mengamati ruang-ruang hidup di Malang sebelum menuliskannya dalam bentuk karya sastra. Karya peserta pelatihan menulis puisi juga diterbitkan dan diluncurkan selama festival berlangsung.
Memori Tema-Tema Sebelumnya
Festival Sastra Kota Malang telah berlangsung lima kali. Dua edisi awal masih bernama Pekan Sastra Kota Malang, sebelum berubah menjadi Festival Sastra Kota Malang pada 2023. Setiap tahun, tema yang diusung selalu mencerminkan isu besar yang hidup di masyarakat.
Pada tahun 2023, tema “Perjumpaan” mengundang kembali para penulis yang pernah berproses di Malang untuk berbagi kisah. Tahun berikutnya, tema “Gastronomi” menggali hubungan sastra dengan kuliner, menghadirkan narasi tentang filosofi makanan dan pengalaman budaya yang terkandung di dalamnya.
Tahun 2025, persoalan urban dipilih karena dinilai relevan dengan kondisi masyarakat Malang yang tengah menghadapi perubahan ruang kota, pertumbuhan pembangunan, serta krisis ruang publik. Sebagaimana diberitakan media lain, festival ini juga menyoroti bagaimana pembangunan kerap menggeser ruang berinteraksi masyarakat dan memicu perubahan identitas kawasan.

Harapan Ke Depan untuk Ekosistem Sastra Kota
Meski berjalan dengan banyak tantangan, Denny berharap festival ini selalu menemukan ruang untuk tumbuh. Kolaborasi menjadi kata kunci agar ekosistem sastra tidak terfragmentasi dan dapat menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat.
“Kami berharap ke depan bisa bekerja sama dengan lebih banyak komunitas. Festival ini milik bersama, dan hanya akan hidup jika banyak orang terlibat,” ujarnya.
Sementara itu, Zulkifli menegaskan kembali komitmen pemerintah untuk menjadikan festival sebagai ruang pertemuan lintas sektor yang produktif.
“Festival bukan hanya soal sastra, tapi tentang ruang bertemu: antara penulis, pembaca, arsitek, musisi, dan banyak bidang lain. Di situlah ekosistem sastra menemukan nyawanya,” ungkapnya.
Dengan dukungan berkelanjutan dan partisipasi komunitas, Festival Sastra Kota Malang 2025 berharap mampu menjadi simpang pertemuan gagasan yang memperkuat kehidupan literasi kota sekaligus menghadirkan karya-karya baru bagi publik yang lebih luas. (nid/yor)










