Kanal24, Malang – Di balik tren fashion yang terus bergerak cepat dan budaya konsumtif yang menguasai generasi muda, terdapat realitas lain yang jarang terlihat: kondisi kerja para buruh yang menjadi tulang punggung industri ini.
Muhammad Dzikriansyah Bima, Mahasiswa dan Aktivis UB mengajak para mahasiswa untuk memahami bahwa pakaian bukan sekadar produk gaya hidup, tetapi bagian dari rantai produksi panjang yang melibatkan kehidupan banyak orang. Hal ini ia sampaikan dalam penyelenggaraan kampanye interaktif bertajuk “BERSOEARA Untuk Hak Buruh yang Layak: Suara Harus Bergerak” pada Senin (01/12/2025).
Membongkar Dampak Fast Fashion yang Jarang Dibicarakan
Dalam materinya, Bima menekankan bahwa fast fashion tidak hanya memicu perilaku konsumtif, tetapi juga meninggalkan jejak masalah sosial dan lingkungan yang besar. Mulai dari limbah tekstil yang terus meningkat hingga eksploitasi tenaga kerja di berbagai negara.
Baca juga:
Profesional Migas Ini Raih Gelar Doktor Terbaik UB dengan IPK Sempurna

“Banyak masyarakat belum sadar bahwa pakaian yang mereka gunakan itu berdampak pada pekerja. Mulai dari overwork, hak ketenagakerjaan yang tidak terpenuhi, hingga tekanan target produksi yang berat,” jelasnya.
Ia menyoroti bahwa industri fashion modern sering memprioritaskan kecepatan produksi dibandingkan kesejahteraan buruh. Alhasil, banyak pekerja terjebak dalam sistem kerja yang tidak manusiawi.
Mengajak Generasi Muda Lebih Teliti dan Tidak Terjebak Tren
Bima mengajak mahasiswa untuk mulai melakukan pemeriksaan kecil: dari mana pakaian mereka berasal, apakah termasuk produk fast fashion, hingga bagaimana proses produksinya berlangsung.
“Jangan hanya mengikuti tren. Kita perlu melihat bagaimana fashion berkembang dan dampaknya bagi lingkungan serta pekerjanya,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa generasi muda sering terjebak pola konsumsi impulsif—ingin membeli karena keinginan, bukan kebutuhan. Oleh karena itu, perubahan perlu dimulai dari diri sendiri dengan mengendalikan pola belanja dan memahami nilai guna barang yang dibeli.
Dari Konsumtif Menjadi Peduli: Membangun Kesadaran Baru
Menurut Bima, tujuan utama diberikannya materi ini bukan sekadar untuk mengisi acara, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran kolektif.
“Harapannya, kita tidak hanya menolak fast fashion secara ekstrem, tetapi belajar self-controlling—menilai apakah kita benar-benar butuh barang itu atau hanya keinginan semata,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa perubahan tidak harus besar. Bahkan langkah kecil, seperti mengurangi pembelian impulsif atau memilih produk lokal dan berkelanjutan, dapat memberi dampak bagi lingkungan dan pekerja.
Menyuarakan Hak Buruh: Tanggung Jawab Kemanusiaan
Bagian penting dari paparannya adalah ajakan untuk terus menyuarakan ketidakadilan yang dialami buruh industri fashion. Hak atas kondisi kerja layak, upah adil, dan jaminan keselamatan merupakan hal yang semestinya menjadi perhatian publik.
“Hari ini masih banyak ketimpangan bagi para pekerja di industri ini. Mereka butuh suara kita,” tegasnya.
Bima mengingatkan bahwa sebagai konsumen, mahasiswa memiliki peran besar dalam mendorong perusahaan untuk memperbaiki kondisi kerja buruh. Kesadaran dan tekanan publik terbukti mampu mengubah praktik industri.
Menjadi Manusia yang Membela Sesama
Dalam pesan moralnya, Bima menegaskan bahwa perjuangan membela buruh bukanlah soal latar belakang akademik, status sosial, atau pemahaman hukum.
“Jangan pernah merasa lebih tinggi dari buruh. Barang yang kita gunakan hari ini dikerjakan oleh mereka,” katanya.
Ia menutup dengan ajakan, “Cukup menjadi manusia untuk membela manusia lainnya. Mari berjuang bersama, karena nilai kemanusiaan tidak boleh kalah oleh industri.”
Dengan penyampaian mendalam ini, Bima berhasil mengingatkan hadirin bahwa isu fashion bukan hanya soal estetika, tetapi juga tentang keadilan bagi mereka yang bekerja tanpa terlihat. (nid/tia)









