Kanal24, Malang – Penanganan bencana di Indonesia selama ini dinilai masih terlalu berfokus pada respons darurat, bukan pada pencegahan dan mitigasi jangka panjang. Hal tersebut menjadi sorotan pakar kebijakan fiskal FEB Universitas Brawijaya, Prof. Setyo Tri Wahyudi, S.E.,M.Ec.,Ph.D, dalam menanggapi bencana banjir dan longsor yang kembali terjadi di sejumlah wilayah Sumatra.
Menurut Prof. Setyo, sebesar apa pun anggaran yang disiapkan negara tidak akan efektif jika akar penyebab bencana tidak diselesaikan. Ia menilai banyak bencana terjadi akibat degradasi lingkungan, seperti penggundulan hutan, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan izin usaha.
“Kalau penyebabnya penggundulan hutan atau penambangan yang tidak diawasi, maka membangun bendungan atau infrastruktur fisik saja tidak akan menyelesaikan masalah. Itu bukan akar persoalannya,” tegasnya.
Baca juga:
Pengelolaan Sampah Kelapa Dorong Ekonomi Hijau di Kondang Merak

Ia mengkritisi pendekatan pemerintah yang masih dominan menggunakan istilah penanggulangan, bukan pencegahan. Padahal, tanpa peta risiko dan roadmap mitigasi yang jelas, bencana akan terus berulang di lokasi yang sama dengan dampak yang semakin besar.
Prof. Setyo juga menilai Indonesia belum siap menerapkan skema pendanaan alternatif seperti asuransi bencana atau obligasi bencana. Selain persoalan regulasi dan klaim, banyak bencana dipicu oleh faktor kelalaian manusia, yang berpotensi tidak bisa ditanggung oleh skema asuransi.
“Kalau bencana terjadi akibat kesalahan manusia, seperti pembalakan liar, itu bisa saja tidak bisa diklaim. Justru negara dan masyarakat bisa dirugikan,” ujarnya.
Dampak bencana, lanjutnya, tidak hanya merusak infrastruktur fisik, tetapi juga melumpuhkan sektor strategis seperti pertanian, transportasi, industri, kesehatan, hingga UMKM. Kelompok paling rentan adalah usaha kecil dan rumah tangga yang umumnya tidak memiliki perlindungan asuransi dan cadangan modal.
“Bagi UMKM, sekali bencana datang, bisa habis semuanya—rumah, usaha, dan mata pencaharian. Mereka hanya bisa menunggu bantuan,” katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya simulasi dan latihan penanganan bencana lintas sektor. Berbeda dengan penanganan terorisme yang rutin disimulasikan, penanganan bencana alam jarang diuji melalui latihan terpadu sehingga ketika bencana terjadi, semua pihak terlihat kebingungan.
Prof. Setyo menegaskan pentingnya regulasi investasi yang berkeadilan lingkungan. Investasi tetap dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi, namun harus disertai kewajiban mitigasi risiko dan tanggung jawab jika aktivitas usaha memicu bencana.
“Kalau sejak awal aturannya jelas—siapa bertanggung jawab ketika investasi memicu banjir atau longsor—maka pemerintah daerah tidak akan selalu terbebani,” ujarnya.
Ia menutup dengan menekankan bahwa kepekaan pemimpin daerah, fleksibilitas kebijakan, dan keberpihakan pada masyarakat terdampak jauh lebih menentukan dibanding sekadar besarnya anggaran kebencanaan.










