oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Berkomunikasi adalah sebuah seni. Prinsip komunikasi menyatakan bahwa setiap tindakan yang diproduksi oleh seseorang adalah suatu pesan komunikasi. Sehingga setiap tindakan seseorang menjelaskan secara utuh tentang kepribadian seseorang. Kepribadian adalah sekumpulan nilai, pikiran, perasaan, pemahaman yang membentuk diri seseorang dan terwujud melalui tindakan dalam interaksi personal dan sosial.
Setiap pribadi individu terbentuk melalui berbagai informasi yang sampai pada dirinya, baik dari hasil bacaan, belajar ataupun pengalaman (diri atau orang lain) yang semuanya menjadi maklumat sabiqah (informasi terdahulu) yang membentuk landasan berpikir dan bertindak setiap individu. Namun setiap orang memiliki keterbatasan dalam menangkap, menerima, mengolah dan menyusun pesan. Keterbatasan ini bisa disebabkan karena terjadinya gangguan pada kemampuan panca indera dan kemampuan fisik lainnya atau berbagai faktor psikologis serta faktor proses interaksi dan pengalaman. Sehingga setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda.
Artinya kemampuan setiap individu pada awalnya adalah sama berdasar potensi dasar penciptaan sebagai karya cipta terbaik (ahsanu taqwiim) namun kemudian karena proses belajar yang berbeda, proses interaksi dan pengalaman yang berbeda menjadikan setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam realitas kemampuan yang berbeda inilah maka beban informasi dan beban tugas pada setiap orang menjadi berbeda pula. Memberikan beban informasi yang berlebihan atas individu tanpa mempertimbangkan masing-masing kemampuan merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Allah swt memberikan arahan dalam Firmannya :
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 286)
Distribusi informasi sering kali terjadi dalam ruang komunikasi organisasi. Salah satu daripada fungsi komunikasi organisasi adalah melakukan manajemen informasi melalui berbagai tahapan perencanaan, pengoorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi suatu aktifitas interaksi manusia. Distribusi informasi berada pada tahapan pengorganisasian informasi dalam suatu proses aktifitas interaksi dalam organisasi. Pada tahapan ini, pimpinan organisasi perlu melihat potensi atau kemampuan dari masing-masing individu organisasi agar dalam proses distribusi informasi tidaklah menjadi beban yang menyusahkan bagi setiap anggota untuk melaksanakannya.
Kebijaksanaan komunikasi kepemimpinan ditentukan oleh sejauh mana seorang pemimpin mampu mengenali dan memperlakukan setiap orang sesuai dengan kemampuannya masing-masing dengan merujuk pada macam kemampuan atau kecerdasan yang beragam (multiple intellegennce) dalam menetapkan gaya kepemimpinannya guna berinteraksi dengan seluruh elemen organisasi serta dalam memberikan beban informasi atau tugas kepada para anggota organisasi. Pemberian beban tugas atau informasi disesuaikan dengan kemampuan yang berbeda dari setiap anggota organisasi.
Penyesuaian gaya komunikasi kepemimpinan yang didasarkan pada kemampuan masing-masing individu akan memudahkan terlaksananya peran-peran dan tugas-tugas individu dalam sebuah organisasi. Demikian pula mendekati setiap individu berdasarkan kemampuannya masing-masing juga memudahkan efektifitas suatu pesan komunikasi yang disampaikan. Penyesuaian cara berkomunikasi atau pemberian beban informasi dengan mendasarkan pada berbagai klasifikasi personal seperti usia, tingkat pendidikan, wilayah domisili, budaya, dan sebagainya maka tentu akan menjadikan komunikasi yang dilangsungkan berjalan sebagaimana diharapkan.
Para Rasul atau utusan penyampai risalah dari Tuhan selalu diutus dengan menggunakan “bahasa kaumnya”, artinya mereka melakukan pendekatan situasional, sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu :
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. Ibrahim, Ayat 4)
Hal ini dimaksudkan agar mereka mampu mendekati objek komunikasinya dengan mudah dan mampu menyesuaikan dengan situasi dan realitas sosial masyarakat yang sedang berkembang, artinya pendekatan komunikasi yang dilakukan adalah situasional. Sebagaimana Rasulullah dalam berkomunikasi dengan masyarakat atau ummat berbeda pendekatan pada masing-masingnya dan berbeda pula beban (pesan) informasi yang dilakukannya. Disaat nabi berkomunikasi dengan anak-anak, orang kaya, orang miskin, badui amatlalh berbeda.
Pendekatan situasional komunikasi dalam mendekati setiap individu menandakan keluwesan konsep profetik guna mencapai tujuan komunikasi. Penggunaan pendekatan situasional ini membutuhkan kedewasaan (maturity) dalam berkomunikasi baik antar manusia ataupun kepemimpinan organisasi. Yaitu suatu kemampuan dalam melihat berbagai perbedaan sebagai sebuah potensi serta mengoptimalkannya untuk tujuan organisasi.
Konsep laa yukallif (tidak membebani) dan bilisaani qaumin (menggunakan bahasa kaum) memberikan arahan tentang pentingnya memahami atau berempati pada individu atau orang lain sebagai pribadi yang unik dan memiliki beragam potensi dan kemampuan berbeda yang membutuhkan sentuhan pendekatan berbeda pula berdasarkan karakteristiknya masing-masing sehingga mampu menghasilkan kepuasan komunikasi. Karena komunikasi profetik adalah sesuai dengan naluri kemanusiaan sebab lahir dan bersumber dari Tuhan sang pencipta kehidupan. Wallahu a’lam.