oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Konsep dasar membangun realitas masyarakat harmonis adalah bermula dari pola komunikasi dan interaksi antar individu dalam entitas manusia di kehidupan bermasyarakat pada setiap level pola hubungan yaitu suatu pola komunikasi yang saling tolong menolong, goyong royong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Inilah yang disebut dengan al mu’awanah atau at ta’awun. Kebaikan berarti nilai-nilai yang dipercayai oleh masyarakat mampu membawa pada ketenangan realitas kehidupan bermasyarakat dalam berbagai aspeknya. Sementara ketaqwaan adalah nilai-nilai yang dibangun atas motivasi spiritual yang bersifat transendental dalam hubungan diri dengan Tuhan sang pencipta sehingga menghasilkan berbagai perilaku berkualitas tinggi. Berarti ta’awun adalah saling memberi, saling membantu, tolong menolong dalam mewujudkan kebaikan bersama dan saling memperkuat sesuai kemampuannya.
Anjuran agar dalam interaksi dan komunikasi manusia dibangun atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan ini disebutkan dalam teks sumber wahyu berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحِلُّواْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهۡرَ ٱلۡحَرَامَ وَلَا ٱلۡهَدۡيَ وَلَا ٱلۡقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلۡبَيۡتَ ٱلۡحَرَامَ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّهِمۡ وَرِضۡوَٰنٗاۚ وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ أَن تَعۡتَدُواْۘ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (QS. Al-Ma’idah, Ayat 2).
Ada dua konsep ta’awun yang dijelaskan dalam teks ayat tersebut diatas yaitu pertama, saling membantu dalam kebaikan dan taqwa (ta’awanu ‘alal birri wat taqwa). Kedua, saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Ta’awun pada model pertama yang sangat diajurkan. Sementara model yang kedua adalah sangat tidak dianjurkan bahkan dilarang. Pada teks ayat diatas disebutkan kata kerja (fi’il) perintah, تعاونوا tanpa menyebutkan siapa pelakunya (fa’il) yang membantu dan siapa yang harus dibantu, atau siapa objek yang akan dibantu (maf’ul). Hal ini menandakan bahwa seorang yang beriman haruslah memiliki jiwa untuk saling tolong menolong dan memberi bantuan dengan sungguh-sungguh tanpa mempermasalahkan siapa yang menolong dan siapa yang ditolong tanpa melihat assesoris yang melekat pada diri seseorang, baik gelar, jabatan, harta ataupun status seseorang.
Setiap orang pasti memiliki kepentingan dan kebutuhan dalam hidupnya. Pada saat yang bersamaan setiap orang juga pasti memiliki masalah dan keterbatasan dalam mewujudkan harapan, kepentingan dan kebutuhannya tersebut. Tidak selamanya manusia mampu memenuhi kebutuhannya atau mengalami kesenangan. Ada kalanya seorang mengalami kesulitan dalam hidupnya sehingga membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Ta’awun atau saling membantu atau tolong menolong adalah kesediaan hati untuk memberikan ruang pada orang lain dengan menyisihkan kepentingan dirinya lalu mendahulukan dan memenuhi kepentingan atau kebutuhan orang lain. Dalam ta’awun berarti ada kesediaan mendengar lebih dalam perasaan orang lain, melihat lebih jeli atas kebutuhan orang lain tanpa orang lain harus memintanya terlebih dahulu, kemudian kesediaan menggerakkan tangan atau tindakan untuk meringankan beban yang ada pada diri orang lain itu.
Islam telah membangun nilai-nilai hebat dalam upaya saling membantu dan tolong menolong antar sesama mukmin. Sebagaimana ditegaskan dalam banyak sabda nabi:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” (HR. Muslim No.4684)
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR. Muslim)
Saling membantu dalam kebaikan dan taqwa adalah maksud dari bangunan komunikasi sosial profetik umtuk menciptakan realitas kehidupan sosial yang harmonis. Kebaikan yang dimaksud adalah semua perbuatan yang dapat mengantarkan orang pada kebahagiaan yang dilandasi oleh bingkai niat keimanan. Sebagaimana Firman Allah swt:
۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah, Ayat 177)
Berarti kebaikan yang dimaksud adalah seluruh realitas kehidupan sosial manusia, seperti kepedulian atas fakir miskin dan yatim, kepedulian atas lingkungan sekitar, serta berbagai tindakan sosial kemasyarakatan lainnya.
Sementara konsepsi profetik juga menolak seseorang untuk saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan yang merupakan bentuk kedhaliman. Karena nabi melarang seseorang untuk bersepakat dalam sebuah kedhaliman. Karena kesepakatan dalam kedhaliman adalah sebuah kemungkaran dan penentangan terhadap aturan Allah swt dan RasulNya.
إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3950)
Pesan komunikasi profetik ini sangatlah jelas bahwa berkonspirasi dalam kejahatan sangat dilarang. Konspirasi atau persekongkolan busuk dalam kedhaliman adalah tindakan yang sangat dibenci sebab manusia telah diberi karunia akal sehat untuk berpikir, telah diberi hati untuk memilih dan menimbang baik buruk serta telah diberi keimanan untuk dijadikan pedoman dalam membangun landasan keyakinan dan bingkai utama menjalani kehidupan. Maka tidaklah mungkin seseorang dengan akal, hati dan keimanan yang benar, sehat dan lurus akan melakukan pengkhianatan atas dirinya sendiri dengan tunduk pada kesesatan. Kesesatan adalah kegelapan di dunia dan di akhirat.
Namun sekalipun demikian, islam juga mengarahkan agar seorang mukmin tetap harus membantu saudaranya yang teraniaya ataupun orang yang melakukan kedhaliman yaitu dengan cara menjauhkannya dari perbuatan dhalim agar dia tidak melakukan kedhaliman atas dirinya dan orang lain. Sebagaimana sabda Nabi :
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” (HR. al-Bukhari)
Cara profetik dalam membantu orang yang berbuat kedhaliman adalah dengan menyelamatkannya dari kedhaliman itu. Yaitu menjauhkannya dari perbuatan dhalim dan menggagalkan rencana kedhaliman yang akan dilaksanakannya. Disinilah peran dari komunikasi nahi mungkar yaitu mencegah orang dari perbuatan yang dilarang terlebih kemungkaran yang berdampak secara luas pada orang lain, kemungkaran sosial. Tolong menolong dalam mencegah kemungkaran ini dijelaskan dan teks sumber wahyu:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. At-Taubah, Ayat 71).
Seseorang yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia untuk saling mengingatkan pada kebaikan kemudian orang lain mengerjakan kebaikan sebagaimana yang dianjurkan maka orang yang mengajaknya mendapatkan nilai kebaikan sebagaimana orang yang mengerjakannya. Inilah multilevel pahala kebaikan disaat seseorang saling bermu’awanah atau ta’awun dalam kebaikan. Sebaliknya juga demikian, jika seseorang saling tolong menolong dan mengajak dalam keburukan lalu orang lain menyebarkannya pula atau memviralkan ajakan keburukan itu maka tentu akan mendapatkan dosa yang juga berlipat-lipat atau multilevel dosa. Sebagaimana sabda Nabi:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Artinya: “Barangsiapa yang menyeru kepada sebuah petunjuk maka baginya pahal seperti pahala-pahala orang-orang yang mengikutinya, hal tersebut tidak mengurangi akan pahala-pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang menyeru kepada sebuah kesesatan maka atasnya dosa seperti dosa-dosa yang mengikutinya, hal tersebut tidak mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun. (HR.Muslim).
Apakah kita ingin membangun konspirasi kebaikan ataukah konspirasi keburukan atau kedhaliman dalam kita menjalin komunikasi dan interaksi sosial kita? . Semua pilihan ada pada diri kita. Jika kita ingin membangun realitas komunikasi sosial yang harmonis maka saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, lalu yakinlah multilevel pahala akan kita peroleh dengan derajat kemuliaan.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB