oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Komunikasi diplomatik adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang yang mewakili suatu kepentingan negara kepada pihak lain atau negara lain yang berbeda dalam rangka mengelola hubungan antara kedua belah pihak untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dimaksud demi menjaga kepentingan masing-masing negara. Komunikasi diplomatik ditujukan untuk mengkomunikasikan kepentingan masing-masing negara. Seseorang yang bertugas sebagai utusan resmi suatu kelompok, suku, bangsa dan negara di dalam melakukan negosiasi, tawar menawar untuk suatu kepentingan disebut diplomat atau duta suatu negara. Pandangan profetik diplomatik dalam suatu negosiasi konflik, memberikan jaminan perlindungan kepada seorang diplomat ataupun negosiator dalam menjalankan tugasnya, mereka dipahami sebagai delegator untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dari pihak lain agar masing-masing kelompok dapat memahami maksudnya dengan harapan terjadi dialog pemikiran (persuasi) antar keduanya untuk mencapai temu.
Pandangan komunikasi diplomatik profetik memberikan penghormatan pada para delegator ataupun diplomat selama menjalankan tugasnya. Hal ini ditegaskan dalam teks sumber wahyu :
وَإِنۡ أَحَدٞ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٱسۡتَجَارَكَ فَأَجِرۡهُ حَتَّىٰ يَسۡمَعَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبۡلِغۡهُ مَأۡمَنَهُۥۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَوۡمٞ لَّا يَعۡلَمُونَ
Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah, Ayat 6)
Teks sumber wahyu ini menjelaskan bahwa Rasulullah diperintah untuk memberikan perlindungan kepada siapa saja yang meminta perlindungan kepadanya bahkan diperintah untuk memberikan jaminan keamanan hingga mereka sampai kembali ke tempat yang aman. Jaminan keamanan ini dimaksudkan agar Nabi dapat melakukan negosiasi melalui keindahan tindakan beliau yang agung. Dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa pada hari datang sejumlah delegasi dari kalangan Quraisy, antara lain Urwah ibnu Mas’ud, Mukarriz Ibnu Hafs, Suhail ibnu Amr, dan yang lainnya. Mereka datang bolak-balik seorang demi seorang untuk menyelesaikan perkara antara Nabi Saw. dan kaum musyrik. Maka mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri pengagungan dan penghormatan kaum muslim kepada Rasulullah Saw. yang membuat mereka merasa terpana, karena hal semisal belum pernah mereka lihat pada seorang raja pun, juga belum pernah pada seorang kaisar pun. Lalu mereka kembali kepada kaumnya dan menceritakan segala sesuatu yang telah mereka saksikan itu. Maka hal tersebut dan faktor lainnya merupakan penyebab bagi masuknya hidayah di kalangan mayoritas dari mereka.
Artinya komunikasi diplomatik haruslah disertai dengan kemampuan negosiasi yang hebat untuk mempengaruhi orang lain. Keterampilan negosiasi memadukan dua kecerdasan yaitu pertama kecerdasan komunikasi verbal berupa kemampuan menyusun kata-kata yang kuat berpengaruh (Rasulullah memiliki kemampuan jami’ul kalim, kata yang singkat padat namun berkesan), kedua kecerdasan bersikap atau tindakan keteladanan. Pada kecerdasan kedua inilah yang memberikan dampak sangat kuat dalam negosiasi profetik ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan tentang hal ini, pernah datang seorang utusan dari pihak Musailamah Al-Kazzab kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bertanya kepadanya,
“أَتَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ؟ ” قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَوْلَا أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ عُنُقَكَ”
“Apakah kamu bersaksi bahwa Musailamah itu adalah seorang utusan Allah?” Utusan itu menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: Seandainya utusan (delegasi) itu dapat (boleh) dibunuh, niscaya aku akan memenggal lehermu.
Tetapi Allah telah menakdirkan lelaki itu untuk dipenggal kepalanya, yaitu terjadi di saat Abdullah ibnu Mas’ud menjadi amir Kufah. Mantan utusan Musailamah itu dikenal dengan nama Ibnun Nawwahah. Di masa ibnu Mas’ud, ia muncul dan bersaksi bahwa Musailamah adalah seorang rasul. Maka Ibnu Mas’ud memanggilnya. Setelah datang, lalu ia ditanya, “Sesungguhnya sekarang engkau bukan lagi sebagai utusan.” Maka Ibnu Mas’ud memerintahkan agar ia dihukum mati, lalu, dipenggallah kepalanya.
Terdapat empat pelajaran penting berdasar teks sumber wahyu di atas dalam konteks komunikasi diplomatik profetik yaitu :
1. Perlunya memberikan jaminan perlindungan dan memberikan rasa aman kepada para pengemban amanah diplomasi karena mereka menjalankan tugas atas nama negara. Penghormatan atas diri personal karena dirinya adalah representasi negara. Perspektif profetik sangat menghormati eksistensi suatu negara sebagai suatu bangsa yang berdaulat.
2. Menunjukkan komunikasi dan perilaku terbaik dalam negosiasi dengan lebih mengedepankan akhlaqul karimah sebagai wujud seorang yang beriman. Bahwa keimanan haruslah terimplementasikan dalam perilaku yang baik dan mengesankan.
3. Mengedepankan pesan kebenaran dalam setiap negosiasi. Namun demikian keberpihakan atas kebenaran tetap harus tunduk pada aturan dan tidak boleh mengesampingkan ketaatan pada aturan ketuhanan. serta suatu perintah tidak boleh melanggar aturan lainnya. Sebagaimana digambarkan dalam kisah nabi diatas.
4. Menjamu dengan cara terbaik terhadap para delegator diplomasi. Penjamuan ini adalah tanda akhlaq mulia dengan satu harapan dapat menyampaikan pesan kebenaran sebagai bagian upaya negosiasi kebaikan yang masih berpeluang dalam membangun penerimaan sebuah perubahan kebaikan pada pihak lain.
Komunikasi diplomatik profetik dibangun atas dasar untuk menyampaikan kebenaran melalui cara yang baik dengan akhlaq yang baik pula. Karena tujuan kebaikan haruslah dilalui dengan cara yang baik pula.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB