oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Komunikasi intrapersonal memberikan landasan atas nilai-nilai dasar dalam diri pribadi dalam menentukan tindakan sikap atau memproduksi pesan baik verbal maupun non verbal saat dirinya berkomunikasi dengan orang lain. Kualitas komunikasi antarpersonal sangat dipengaruhi oleh kualitas nilai yang ada dalam diri personal masing-masing pribadi (intrapersonal). Bangunan nilai dalam diri bisa dipengaruhi oleh interaksi seseorang dengan lingkungan, proses belajar, membanding sosial, serta nilai agama yang diyakininya. Salah satu nilai dasar dalam diri personal (intrapersonal) sebagai landasan menyusun kecerdasan komunikasi antarpersonal ataupun sosial adalah nilai tanggung jawab personal yang dilandasi oleh nilai profetik berdasarkan sumber wahyu. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah swt :
مَّنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا
Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS.Al-Isra’, Ayat 15).
Berdasarkan teks sumber wahyu ini memberikan sebuah landasan bahwa setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Setiap individu bebas memilih perilaku, apakah mau mengikuti jalan petunjuk ataukah jalan sesat. Allah swt telah memberikan potensi dasar bagi setiap manusia agar dapat memilih satu dari dua jalan yang ada. Potensi pertama adalah potensi akal rasional untuk berpikir. Kedua, potensi hati untuk dapat memilah kebaikan dan keburukan. Ketiga, potensi risalah yang telah dibawa oleh utusanNya (Rasulullah) yang memberikan panduan dasar atas nilai kebenaran, kebaikan dan juga memberikan pengetahuan tentang apa saja kesesatan keburukan itu, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam mashadir hukm (landasan dasar hukum) berupa alquran, hadits ataupun ijma dan qiyas serta berbagai pandangan ulama yang telah disepakati keilmuannya. Demikian pula dalam risalah juga telah dijelaskan atas semua konsekwensi atas pilihan sikap setiap individu, bahwa sekecil apapun dari kebaikan akan berbalas. Sebagaimana ditegaskan dalam FirmanNya :
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. Az-Zalzalah, Ayat 7-8)
Setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam memilih suatu pilihan sikap. Lalu dengan potensi yang dimilikinya itu maka manusia bebas memilih dan menentukan sikap. Namun setiap jalan memiliki konsekwensi pada masing-masingnya. Dengan potensi akal rasional sebenarnya sudah cukup untuk menjadikan seseorang mengambil keputusan yang benar dalam hidupnya sehingga sangat layak bagi seseorang untuk bertanggungjawab secara mandiri atas apapun tindakan yang diambil oleh dirinya. Artinya keputusan yang diambil sebenarnya secara sadar bisa dipahami dengan baik akan berdampak terhadap dirinya sendiri bukan pada lainnya. Dan pilihan keburukan pun telah dipahami dengan sadar akan merugikan dirinya pula.
Perspektif profetik menegaskan bahwa setiap individu bertanggungjawab atas pilihan sikap yang diambil sehingga orang lain tidak akan menanggung dosa siapapun atas kesalahan yang dilakukan oleh individu sebab setiap individu memiliki potensi given yang ada dalam dirinya masing-masing. Untuk itu tindakan mengkambing hitamkan orang lain atas suatu kesalahan individu adalah sebuah tindakan kebodohan dan bertolak belakang dari rasionalitas kemanusiaan. Sehingga menimpakan kesalahan pribadi pada orang lain adalah tanda minimnya rasa tanggungjawab individu atas dirinya.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB