oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Komunikasi profetik berisi tentang nilai-nilai kebaikan yang memberikan landasan pada seseorang bersikap dan bertindak dalam interaksi antar manusia. Landasan ini dibangun berdasarkan teks-teks sumber wahyu ketuhanan.
Kualitas komunikasi dipahami sebagai sebuah proses memproduksi, menyusun pesan menjadi sebuah tindakan yang dibangun atas nilai-nilai ini.
Kualitas seseorang ditentukan oleh kualitas komunikasi dirinya baik intrapersonal maupun antar personal.
Konstruksi pesan dalam komunikasi antarpersonal dibentuk oleh kualitas komunikasi intrapersonalnya berupa nilai-nilai yang mendasari tindakan secara internal dalam diri pribadi. Landasan nilai ini sebagaimana dalam teks sumber wahyu berikut :
وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا
Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,” (QS. Al-Furqan, Ayat 63)
Teks sumber wahyu diatas, memberikan sebuah informasi bahwa dalam interaksi antarpersonal seorang komunikator profetik (ibadurrahman) adalah pribadi yang dalam berinteraksi dengan siapapun di muka bumi adalah pribadi yang memiliki sifat rendah hati. Secara implementatif sifat ini dapat beruwuj dalam tindakan antara lain tidak terlalu banyak berbicara tentang dirinya, banyak tersenyum pada setiap orang, memulai salam pada sesama muslim, mau menerima kritik dan saran, bersedia mendengarkan masukan, mengetahui kapasitas diri dengan baik, bersedia menjadi pendengar yang baik, bersedia memaafkan dan berani minta maaf, bersedia dengan tulus membantu dan menyenangkan orang lain, bersedia menerima kekurangan dan kelemahan orang lain, bersedia belajar dan menerima bimbingan orang lain. Intinya adalah bersikap tidak angkuh dan tidak sombong. Sifat ini melekat dalam diri Rasulullah secara sempurna. Sebagaimana dalam sabdanya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا سيد ولد آدم ولا فخر
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Karakter komunikator profetik selanjutnya adalah tidak membalas hinaan dengan hinaan yang sama melainkan membalas setiap keburukan dengan kebaikan bahkan menebarkan salam keselamatan.
Terdapat banyak keteladanan sikap yang dicontohkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam atas sikap ini. Ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam sedang hijrah ke Thaif dengan sebuah harapan penduduknya dapat menerimanya dengan baik, alih-alih menerima bahkan mereka mengusir nabi dengan cara tidak terhormat dan memprovokasi masyarakat untuk melemparnya dengan batu hingga Rasulullaah mengalami luka. Bahkan mengundang simpati Malaikat Jibril dengan menawarkan untuk menjatuhkan gunung kepada penduduknya. Namun tawaran itu dibalas dengan kerendahan dan kelembutan hati Nabi. Beliau tidak membalas hinaan dengan hinaan. Namun beliau membalasnya dengan kelembutan sikap, seraya memanjatkan doa yang artinya :
“Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu atas lemahnya kekuatanku dan sedikitnya usahaku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Engkaulah Tuhan semesta alam, Pelindung orang-orang yang lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan diriku. Kepada orang yang jauh yang menyerangku ataukah kepada Zat yang dekat yang mengatur urusanku. Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Aku berlindung terhadap cahaya wajah-Mu Yang menerangi kegelapan dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat, dan kemurkaan-Mu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah Yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya dan upaya selain dan Engkau.”
Bahkan Rasulullah saw menolak tawaran Jibril dengan jawaban : ”Saya hanya berharap kepada Allah SWT, andaikan pada saat ini, mereka tidak menerima Islam, mudah-mudahan kelak mereka akan menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah SWT.
Perspektif komunikasi profetik memberikan arahan bahwa hinaan jangan dibalas dengan hinaan, namun balaslah dengan kebaikan dan kesabaran seraya terus berdzikir mengingat Allah saw agar hati tetap berada dalam ketenangan. Sebab bahwasanya orang yang suka menghina, mencemooh, dan mencerca sebenarnya adalah orang yang sudah kalah, derajatnya berada di bawah dari orang yang dicemooh. Untuk itu kesabaran, ketenangan dalam menghadapi cacian adalah jalan kemenangan. Sikap yang demikian selain dicontohkan dalam keteladanan perilaku Rasulullah saw juga disebutkan dalam teks sumber wahyu berikut :
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَفَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَوَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ajal.” (QS. Al-Hijr: 97-99)
Sikap keteladanan Nabi juga dicontohkan ketika terjadi “Fathu Makkah” disaat Makkah sepenuhnya telah dikuasai oleh Rasulullah saw, jika Rasulullah mau, maka mudah saja Beliau memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk menghabisi para kaum Kafir Quraisy pada saat itu. Namun hal demikian tidak dilakukan oleh Nabi. Bahkan nabi melakukan suatu tindakan yang sangat luar biasa yaitu memberikan pengampunan massal kepada mereka-mereka yang dahulu memusuhi dan memerangi kaum muslimin, kecuali terhadap sebagian kecil yang keterlaluan dalam permusuhannya kepada Islam. Sebaliknya dalam catatan sejarah dijumpai banyak para tokoh yang gagal meredam amarahnya ketika sudah berada di tampuk kekuasaan. Balas dendam adalah hal lumrah jika kekuasaan sudah berada dalam genggamannya, mereka “menghabisi” para lawan-lawan politiknya dengan sangat kejam dan keji.
Demikianlah perilaku komunikasi profetik yang menjunjung nilai-nilai kemuliaan berdasarkan sumber wahyu, yang tentu berbeda secara diametral dengan perilaku komunikasi yang jauh dari nilai-nilai Ketuhanan. Inilah beda antara kekuatan spiritualitas dan kekuatan rasionalitas hawa nafsu dalam fakta komunikasi antar manusia.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB