Suatu ketika, saat Rasulullah Muhammad SAW sedang sakit dan kondisinya makin lemah, beliau memanggil Aisyah Ra (istrinya) untuk mengambil uang yang pernah dititipkannya. Uang tak seberapa itu tetiba diingat lagi oleh Nabi dan diminta dibagikan kepada yang membutuhkan. “Alangkah malunya aku kepada Allah SWT jika masih menyimpan harta,” begitu kurang lebih yang disampaikan Nabi kepada Aisyah Ra. Bagi Rasulullah, harta tak boleh ditumpuk, justru mesti tersebar merata ke seluruh umat. Harta yang diendapkan hanya akan jadi beban, bukan berkah. Pengadilan hari akhir yang akan melenyapkan.
Sifat dan sikap Nabi itu yang kemudian menjadi ilham ilmu ekonomi dalam menggerakkan pembangunan. Orang yang berkelebihan harta menyimpan ke bank, sementara yang ingin berusaha (tapi tak memiliki modal) meminjam untuk kepentingan investasi. Pabrik dibangun, lapangan kerja tercipta, barang/jasa diproduksi, upah dibagi, kesejahteraan melesat. Ekonomi terus berputar dan makin besar. Upah dibelanjakan dan laba perusahaan ditanamkan (kembali). Sebaliknya, jika harta (uang) hanya disimpan/ditabung, maka investasi macet dan ekonomi kian seret.
Tak cuma berhenti di situ, teladan Nabi juga menyuarakan gentingnya distribusi: menafkahi ke pihak yang tak mampu. Seberapa pun hebat sistem dibangun, tetap ketimpangan akan terjadi. Tiap individu memiliki perbedaan pengetahuan, keterampilan, etos kerja, juga kesempatan. Hasrat mengakumulasi dibolehkan, tapi wajib dikendalikan. Hidup disangga untuk mencukupi kebutuhan, selebihnya hanya perlu dibagikan. Hasrat menguasai tanpa batas ditindih sedalam-dalamnya. Ekonomi berdasarkan kebutuhan akan menciptakan keberkahan, sebab seluruh umat (tanpa kecuali) merayakan kesejahteraan.
Celakanya, hingga kini praktik ekonomi hanya sukses menumbuhkan, tapi tumpul dalam memeratakan. Tiang yang diajarkan Nabi cuma satu yang ditegakkan. Di dunia, juga di Indonesia, punya nada pembangunan dengan irama yang sama. Di tanah air ini 1% penduduk menguasai 45% kekayaan. Satu korporasi memiliki jutaan hektar lahan. Jutaan petani hanya menjadi buruh karena tanah cuma menjadi impian. Puasa (ramadan) mengajak umat hidup lebih patut dengan jalan mengendalikan keserakahan (keinginan). Di sini kita akan sampai kepada fatwa Gandhi yang masyhur: “There is a sufficiency in the world for man’s need but not for man’s greed.”
Penulis : Ahmad Erani Yustika Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB