Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV2) yang merupakan jenis terbaru coronavirus yang baru diidentifikasi pada Desember 2019. Jenis ini berbeda dari keluarga coronavirus yang sudah terlebih dahulu menimbulkan epidemi global antara lain H1N1 (influenza), SARS dan MERS CoV.
Penyebaran virus Covid-19 yang sangat cepat ke seluruh dunia membuat World Health Organization (WHO) menetapkannya sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 dengan angka kejadian sebanyak 2,44 juta penderita dari 185 negara dengan mortalitas sebanyak 168.000 penderita (6,8%).
Hingga hari ini belum ada obat maupun vaksin dengan uji klinis baik yang dinyatakan dapat melindungi atau menyembuhkan Covid-19. Kenyataan ini kemudian membuat banyak kalangan berusaha mencari alternatif pengobatan baik dengan pengobatan konvensional anti-virus maupun dengan penggunaan obat tradisional, obat herbal.
Terkait dengan itu, saya telah melakukan review sistematik terhadap beberapa publikasi jurnal yang terindeks dalam US National Library of Medicine, National Institutes of Health (https://ncbi.nlm.nih.gov) untuk mencari potensi pemanfaatan terapi herbal dalam tata laksana Covid-19.
Dalam prosesnya, saya menemukan sebanyak 25 publikasi penelitian yang membahas tentang pemanfaatan herbal dalam tata laksana Covid-19. Dari kesekian jumlah tersebut, saya menemukan beberapa pembahasan yang menyatakan bahwa China dan Korea Selatan termasuk dalam negara yang telah memasukkan terapi herbal.
Sejak ribuan tahun yang lalu, China dikenal telah menggunakan herbal dalam pengobatan dan memiliki sistem terstandar obat herbal yang disebut dengan kanpo. Sistem kanpo ini diadopsi oleh Jepang dan terintegrasi secara resmi pada Japanese National Health Care System. Dalam upaya mencari terapi terbaik untuk Covid-19, National Health Commission of China menetapkan tujuh panduan pengobatan tradisional Covid-19. Sedangkan Korea Selatan menetapkan dua panduan pengobatan tradisional. Kedua negara tersebut menggunakan terapi herbal dalam bentuk formula, di mana jenis dan komposisi setiap formula sudah terstandar dengan baik dengan pemberian yang sangat jelas pada ringan, sedang, parah maupun pada fase pemulihan Covid-19.
Dalam pemanfaatan secara klinis, Shanghai Public Health Clinical Center melaporkan bahwa dari tiga pasien teridentifikasi Covid-19 yang mendapatkan terapi gabungan antara pengobatan ala Barat (antivirus lopinavir/ritonavir) dan Shufeng Jiedu Capsule (antivirus herbal), didapatkan angka kesembuhan hingga 100%.
Dalam konteks Indonesia, pemanfaatan herbal dalam tata laksana Covid-19 masih dilakukan secara sporadis dan belum dinyatakan secara resmi dalam bentuk panduan resmi tata laksana Covid-19. Sehingga pernyataan sembuh didapat sebagai hasil testimoni dan bukan sebagai hasil penelitian uji klinik yang menyeluruh. Hal ini membuat peluang penelitian lanjutan masih terbuka sangat lebar bagi pemanfaatan herbal dalam terapi Covid-19 secara in vitro, in vivo maupun in silico.
Selain itu, sebagian besar tanaman herbal terstandar yang digunakan dalam Traditional Chinese Medicine (TCM) tidak tumbuh di Indonesia. Sehingga, Indonesia dapat mengembangkan herbal khas Indonesia dalam tata laksana Covid-19. Kunyit dan jahe merupakan tanaman rempah-rempah yang sudah dipakai turun temurun baik sebagai rempah-rempah maupun sebagai pengobatan di Indonesia.
Banyak publikasi ilmiah sudah menunjukkan khasiat kurkumin (bahan aktif kunyit) dan komponen fenolik (bahan aktif jahe) sebagai anti-radang, anti-oksidan, anti-mikroba, anti- kanker, antiobesitas, kardioprotektor dan anti-diabetes. Konsumsi bahan-bahan alam tersebut secara teratur dianjurkan dalam konteks menjaga kesehatan dan menaikkan daya tahan tubuh.
Secara spesifik, kunyit dalam eksperimen laboratorium dapat menghambat replikasi virus SARS-CoV dan diprediksi dapat menghambat Covid-19 melalui molecular docking prediction.
Namun, pemanfaatan lebih jauh kunyit dan jahe sebagai pengobatan utama Covid-19 masih perlu penelitian lebih jauh mengingat belum adanya penelitian mengenai sediaan dan dosis pada pasien.
Akhirnya, secara umum dapat dinyatakan bahwa pengobatan dengan herbal yang terstandar dapat berperan banyak dalam pencagahan maupun tata laksana Covid-19 meskipun secara ilmiah uji klinik dengan skala besar tetap diperlukan untuk melihat efikasi secara klinik.
Penulis: dr. Flori R. Sari, Ph.D (Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)