KANAL24, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksikan penerimaan perpajakan pada tahun ini hanya akan mencapai Rp1.462,6 triliun atau kurang Rp403,1 triliun dari target APBN 2020 sebesar Rp1.865,7 triliun.
“Dari perhitungan teman-teman Badan Kebijakan Fiskal atau BKF dan Pajak, penerimaan perpajakan akan tumbuh negatif 5,4 persen. Ini berarti hanya 78,3 persen dari APBN . Negative growth ini merupakan kombinasi dari pelemahan ekonomi,” kata Sri Mulyani saat Raker bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (30/4/2020).
Sri Mulyani menyatakan prediksi tersebut didasarkan oleh penerimaan pajak yang diperkirakan mengalami kontraksi 5,9 persen dengan s hortfall Rp388,5 triliun,atau turun dari Rp1.642,6 triliun dalam APBN 2020, menjadi Rp1.254,1 triliun pada outlook terbaru.
Shortfall tersebut oleh berkurangnya penerimaan pajak yang terutama disebabkan oleh dampak penurunan ekonomi dan perang harga minyak, serta fasilitas insentif pajak jilid II dalam PMK 23/2020 senilai Rp13,86 triliun. Kemudian juga dipengaruhi oleh adanya relaksasi stimulus tambahan Rp70,3 triliun, penurunan tarif PPh menjadi 22 persen senilai Rp20 triliun, serta antisipasi penundaan dividen dalam Omnibus Law Perpajakan senilai Rp9,1 triliun.
Penerimaan perpajakan yang diproyeksikan hanya Rp1.462,6 triliun juga didasari oleh penerimaan bea dan cukai yang diperkirakan hanya mencapai Rp208,5 triliun tahun ini, atau mengalami shortfall Rp14,6 triliun dari target dalam APBN 2020 sebesar Rp223,1 triliun.
“Tumbuh negatif 2,2 persen dengan memperhitungkan dampak stimulus pembebasan bea masuk untuk 19 industri,” ujarnya.
Sri Mulyani menegaskan postur APBN 2020 sangat terpengaruh akibat wabah COVID-19, sehingga pemerintah harus mengeluarkan berbagai stimulus dalam rangka mengurangi dampak pandemi tersebut.
Dalam hal ini, Sri Mulyani menuturkan perpajakan mendapat dua mandat sekaligus yaitu mengumpulkan penerimaan dan memberikan insentif bagi dunia usaha yang tertekan akibat COVID-19. (sdk)