oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Tidak ada satu bencana yang lebih mengerikan pada saat terjadi bencana dari pada bencana komunikasi yaitu suatu keadaan Informasi yang tidak menentu, baik sumber, pesan, kejadian, dan wujudnya. Salah satu ciri dari komunikasi pada saat terjadi bencana adalah informasi yang simpang siur, banyak bertebarannya informasi-informasi yang hoax di tengah masyarakat tanpa terkendali. Suasana psikologi masyarakat pada saat terjadi bencana, cenderung mudah panik, tidak tenang, berpikir jangka pendek, sehingga terkadang mudah terhasut Informasi yang tidak jelas sumbernya (hoax). Seringkali kita jumpai masyarakat bertindak diluar nalar pada saat terjadi bencana dan pula cenderung tidak mengindahkan informasi resmi yang disampaikan oleh aparat.
Kecenderungan masyarakat yang mudah panik saat menghadapi bencana sehingga mendorong masyarakat untuk mudah mempercayai berita-berita hoax dari pada informasi valid sehingga berakibat buruk dan bahkan terjadi bencana baru bagi masyarakat yang jauh lebih mengerikan daripada bencana itu sendiri yaitu bertebarannya hoax di dalam masyarakat. Hal demikian telah diisyaratkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat : 6)
Informasi pertama yang disebutkan di dalam ayat tersebut menjelaskan tentang realitas yang terjadi secara objektif yaitu adanya suatu keadaan di mana masyarakat lebih percaya kepada hoaks sehingga menjadikan kekacauan sosial semakin tambah mengerikan. Semua itu terjadi sebagai dampak dari defisitnya kecerdasan dan kedewasaan dalam berinformasi. Minusnya kecerdasan berinformasi dan bermedia bisa jadi disebabkan karena mayoritas masyarakat kita mudah menelan informasi atau berita secara mentah-mentah tanpa melalui proses penyaringan. Kekacauan informasi ini menurut sumber wahyu dilakukan oleh orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang yang tidak bertanggungjawab atas informasi yang disebarkannya karena kelemahannya dalam membaca realitas dan rendahnya kepedulian yang mengakibatkan dirinya tidak bertanggungjawab atas produksi pesan yang dibuatnya atau mungkin pula sebab keisengan dirinya yang merupakan bentuk rendahnya sensitifitas sosial.
Pendekatan profetik memberikan arahan dalam menghadapi realitas yang demikian agar tidak terjadi peristiwa yang lebih mengerikan daripada bencana itu sendiri perlu kecerdasan informasi yaitu dengan cara melakukan tabayun (kroscek) informasi. Hal demikian telah disampaikan secara gamblang dalam firman Allah swt tersebut di atas.
Kata tabayyun berasal dari kata tabayyana, yatabayyanu, tabayyunan ( تَبیُانًا یتبیّنُوْا تَبیَانَا ) yang berarti tampak, jelas, atau terang. Berarti melakukan tabayyun mengandung makna usaha sungguh-sungguh untuk menemukan dan mendapatkan kebenaran dari suatu pesan atau informasi yang pada awalnya simpang siur atau tidak jelas menjadi jelas terang benderang dengan segala keyakinan.
Konsep tabayyun memberikan sebuah arahan agar seseorang tidak mudah percaya atas apapun informasi yang menyebar dan sampai kepadanya tanpa menelusuri dengan sungguh-sungguh siapa dan dari mana serta bagaimana tingkat kebenaran informasi yang sedang berkembang dengan mempertimbangkan penilaian beberapa hal : memastikan siapa penyebar berita, apa berita yang disebar, dan kemudian dilakukan silang pengecekan kepada sumber informasi. Dengan kecerdasan berinformasi maka akan mampu menyelamatkan masyarakat dari kehancuran dan bencana yang lebih mengerikan dari pada realitas bencana yang sedang terjadi.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB