oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Mencermati pola komunikasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada masa pandemi covid-19 amatlah cukup menarik. Berbagai perilaku komunikasi tampak begitu beragam sekalipun dalam melihat satu objek kasus yang sama. Perbedaan sudut pandang menjadi alasan beragam perilaku komunikasi masyarakat, yang dipengaruhi oleh proses belajar masing-masing individu, ilmu pengetahuan, informasi sebelumnya (al maklumat as sabiqoh), pengalaman objektif dan penangkapan indera manusia. Beberapa faktor tersebut membentuk cara pandang yang berbeda dari masing-masing individu, dalam melihat, menilai dan memperlakukan sesuatu. Termasuk pula dalam mempersepsi dan mensikapi suatu bencana.
Beberapa pola komunikasi masyarakat dalam menghadapi bencana dapat diklasifikasikan dalam beberapa pola komunikasi berikut:
1. Saling memotivasi dan saling menguatkan. Yaitu suatu pola komunikasi dengan memberikan keyakinan bahwa bencana bukanlah suatu peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba melainkan berada dalam perencanaan yang sempurna dari Allah, Tuhan Sang Pencipta. Sehingga dibalik bencana pasti ada hikmah dan pelajaran berharga serta realitas kebaikan yang juga sedang direncanakan bagi manusia. Sebagaimana yang terjadi pada bencana gunung meletus sepintas peristiwa itu menyusahkan masyarakat namun dibalik peristiwa itu terdapat kebaikan yang akan diperoleh oleh manusia, yaitu berupa tanah yang subur untuk ditanami berbagai tumbuhan oleh sebab abu vulkanik letusan gunung tersebut. Demikian pula dengan wabah pandemi covid-19, sekilas mungkin terkesan menakutkan namun di balik itu semua berbagai hikmah positif menyertai pandemi ini. Seperti halnya munculnya kesadaran baru tentang hidup bersih dan sehat, munculnya berbagai kreativitas bisnis dan pembelajaran secara daring, serta kembali vitalnya kehidupan keluarga. Pola komunikasi positif yang demikian secara nyata hadir dalam interaksi manusia selama terjadinya suatu bencana dengan tujuan untuk saling memotivasi dan menguatkan antar individu dalam masyarakat yang memungkinkan mereka bentuk bersikap lebih positif dalam menghadapi bencana. Pola komunikasi ini banyak diwakili oleh orang-orang yang memiliki konstruksi keilmuan sekaligus keyakinan atau keimanan yang matang yaitu kalangan intelektual ataupun kalangan masyarakat dengan nilai spiritualitas yang baik.
2. Pola komunikasi yang cenderung rasional dan berpikir empirik atas peristiwa bencana yang sedang terjadi dengan melakukan analisa-analisa rasional tentang suatu peristiwa bencana ataupun wabah. Mereka mencoba menjelaskan tentang sebab-sebab suatu bencana itu terjadi yang dikemas secara teoritik berdasarkan pemahaman ilmu pengetahuan, Sebab proses, hingga dampak dari suatu bencana serta bagaimana mensikapi suatu bencana dengan melalui pendekatan rasional tadi. Pola ini diwakili oleh kalangan cerdik pandai dan para ilmuwan serta masyarakat kota yang cenderung berpikir rasional.
3. Pola komunikasi yang bersifat pesimistik yaitu sebuah produksi pesan yang disampaikan oleh beberapa kalangan penuh kepanikan. Pola komunikasi yang demikian seringkali disebabkan oleh konstruk keilmuan dan keimanan yang cukup rendah sehingga menyebabkan timbulnya kepanikan dalam menghadapi suatu peristiwa bencana. Pola ini banyak berkembang di kalangan masyarakat awam yang jauh dari informasi ilmu pengetahuan.
4. Pola komunikasi yang bersifat apatis yaitu menganggap bahwa bencana adalah sesuatu yang yang biasa-biasa saja atau bahkan cenderung dianggap tidak terjadi apa-apa, seperti halnya yang terjadi pada kasus wabah pandemi covid-19. Mereka tidak percaya akan adanya wabah ini, bahkan cenderung mempertanyakan kebenarannya, sebab mereka menganggap wabah covid-19 ini tidak terlihat secara kasat mata. Hal ini disebabkan karena tidak adanya bangunan informasi ilmu pengetahuan, serta karena terlalu banyaknya simpang siur berita atau informasi, sehingga mereka menganggap bahwa bencana pandemi ini sebagai sesuatu yang palsu belaka. Pola komunikasi ini banyak terjadi di tengah masyarakat awam pedesaan yang jauh dari sumber-sumber informasi penting.
5. Pola komunikasi yang dipenuhi dengan hoax penuh kebohongan. Hal ini seringkali menyertai dalam setiap peristiwa atau bencana yang diproduksi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan memproduksi berita-berita hoax. Motif dibalik penyebaran ini bisa jadi karena keisengan belaka atau ingin menangguk di air keruh. Pada pola yang terakhir ini, pendekatan teologis profetik sangat telah melarang tindakan ataupun perilaku yang demikian. Sebagaimana disebutkan di dalam teks sumber wahyu.
قُتِلَ ٱلۡخَرَّٰصُونَ
Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (QS. Adz-Dzariyat, Ayat 10)
Bahkan secara tegas sumber wahyu mengidentifikasi pelaku dari para penyebar hoax ini ya itu disebutkan sebagai kalangan fasiq. Yaitu orang-orang yang lemah akalnya, jauh daripada ketaatan kepada Allah, suka melakukan perbuatan dosa, sehingga suka menyebarkan berita bohong. Sehingga dalam menghadapi berita yang disampaikan oleh orang-orang fasik, maka mekanisme yang diarahkan oleh pendekatan teologi profetik ini adalah dengan melakukan tabayyun yaitu penelitian berita dengan melakukan kroscek kebenaran informasi. Bahkan jika mekanisme ini tidak dilakukan, maka yang akan terjadi adalah lahirnya bencana baru yaitu bencana komunikasi yang berakibat jauh lebih berbahaya berupa disintegrasi sosial, sebagaimana dijelaskan dalam teks sumber wahyu.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat, Ayat 6).
Berbagai tipologi pola komunikasi yang telah disebutkan di atas, dimaksudkan untuk memetakan berbagai sudut pandang yang ada di tengah-trngah masyarakat, sehingga memudahkan setiap individu dalam mensikapi berbagai realitas yang terjadi dengan penuh kecerdasan dan kedewasaan.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB