Film documenter yang dibuat oleh watchdoc pada 2015 lalu membuat saya lebih melihat potret Indonesia dalam realita. Ada banyak sekali hal menarik di sana. Ekspedisi Indonesia biru ini dimulai pada 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015, ya 365 hari. Perjalanan ini dilakukan oleh Dandy Dwi Laksono dan Suparta Arz mengelilingi nusantara dan dimulai dari perkampungan adat Baduy di Banten menggunakan sepeda motor bebeknya.
Hal menariknya yang saya temukan di Suku Baduy ini adalah daerah yang tak tersentuh oleh modernitas. Kearifan lokal yang masih kental terlihat. Manusia menyatu dengan alam. Masyarakat adat suku Baduy memang dibagi menjadi suku Baduy dalam dan suku Baduy luar. Suku Baduy dalam inilah yang masih sangat menjaga adat istiadat mereka. Bahkan barang elektronik dan teknologi lainnya tak pernah diperbolehkan masuk ke sana. Pakaian adat masih digunakan setiap harinya dan melarang masuknya barang-barang buatan pabrik seperti sabun,sampo,dan pasta gigi. Semuanya memanfaatkan alam. Sedangkan Suku Baduy luar sudah mulai menerima perubahan. Meskipun tidak sepenuhnya.
Lalu bagaimana dengan praktik pertanian di sana?
Kehidupan perekonomian Suku Baduy sangat mengandalkan kegiatan bercocok tanam di ladang. Dan ini dilakukan tanpa menggunakan pupuk kimia. Jadi bertani dilakukan secara organic. Mereka memegang adat bahwa tidak boleh memakai pupuk kimia. Konsep menanam dilakukan hanya setahun sekali. Hasil panennya bukan hanya berasal dari menanam padi, tentu ada hasil lainnya yang disediakan alam seperrti durian, mangga, gula aren,dan lainnya.
Padi huma menjadi salah satu alasan Suku Baduy tak pernah merasakan krisis pangan. Jenis padi yang digunakan adalah padi lokal hasil dari seleksi sendiri oleh masyarakat Baduy. Konsep pertanian tradisional yang diterapkan ini adalah ladang berpindah. Mereka membuka ladang baru di kawasan hutan maupun menyewa lahan yang juga disediakan oleh pemerintah untuk mendukung kegiatan mereka bercocok tanam di wilayah baduy luar. Penanaman padi huma juga dilakukan secara serempak dan mengikuti kalender adat di sana. Waktu panen sekitar 6 bulan. Segala bentuk pupuk, pestisida, pemberantasan hama menggunakan bahan yang tersedia di alam.
Dengan begini, ekosistem akan terus terjaga keseimbangannya. Misalnya saja dikutip dari kompasiana mengenai pemberantasan hama yang menggunakan cabang daun pelah yang ditancapkan. Dengan begitu capung akan datang dan menghalau hama-hama tanaman padi. Burung hantu juga sering bertengger di sana dan turut serta menghalau tikus untuk memakan padi di ladang. Sehingga konsep pemberantasan hama secara terpadu ini sangat menjaga ekosistem alam. Hasil panen padi huma ini yang nantinya akan disimpan di gudang dan tidak dijual. Sehingga kebutuhan pangan akan tetap terpenuhi dalam setahun itu dari hasil panen padi yang disimpan ini.
Acaraki, Kafe Jamu Metropolitan
Lumbung padi untuk menyimpan padi huma namanya Leuit. Inilah kuncinya ketahanan pangan pada suku Baduy. Karena akses yang terbatas dengan dunia luar maka dari itu mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Menjadi cadangan panen hingga panen berikutnya tiba.
Hubungan manusia dengan alam yang masih sangat terjaga oleh masyarakat Suku Baduy memang patut kita tiru. Terlepas dari modernitas kita yang sering menyebut diri menjadi “masyarakat modern” ini tentu juga harus peduli terhadap alam. Dari mereka kita belajar tentang kepedulian, mengambil secukupnya dan menjaga sekitarnya. Alam Indonesia akan menjadi surga di Khatulistiwa jika manusianya menyadari akan perannya. (sdk)