Pernah mendengar lagunya Koes Plus, Kolam Susu?
“Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. …” lanjutkan sendiri ya nyanyinya.
Terlepas dari asal usul Yon Koeswono menciptakan lagu legendaris ini, saya menangkap bahwa Indonesia ini begitu indah dan mempesona. Dari kacamata dunia pertanian ya, dalam lirik di atas, ibarat kata jika kita menyebar biji di atas tanah maka tidak mustahil itu akan tumbuh. Tanah Indonesia yang subur bisa membuat apa saja tumbuh di atasnya.
Pernah berpikir bagaimana asal mula makanan yang masuk dalam tubuh kita itu diciptakan dan diproses ? sehingga dengan lahapnya kita bisa menikmatinya. Itu semua berasal dari benih yang ditanam. Kualitas benih akan menentukan juga kualitas dari tanaman yang akan tumbuh. Sampai pada waktu panen dan akhirnya dihidangkan di meja makan. Tidak sesingkat proses kita menghabiskan makanan. Bahkan ketika kita membuang makanan, tanpa berpikir disitu ada keringat para petani demi sesuap nasi. Coba ya mulai sekarang dihargai, jangan membuang makanan lagi.
Kali ini, lebih spesifiknya kita akan membahas seputar benih kentang. Ya meskipun bukan makanan pokok di negara kita, tapi Kementerian Pertanian sudah menargetkan pada tahun 2020 ini Indonesia bisa swasembada kentang. Mengingat angka impor yang tiap tahun turun misalnya pada tahun 2018 lalu 29,649 ton dari angka 51.849 ton di tahun 2017. Tentu jika hal itu dapat terwujud di tahun 2020 adalah sebuah prestasi yang sangat membanggakan.
Dalam majalah SALAM, ada sebuah kasus yang diangkat yaitu petani kentang di daerah Kenya. Kentang adalah makanan pokok di daerah tersebut. Masalahnya benih kentang yang ada adalah mengandung virus dan bakteri. Selain itu benih kentang yang dikeluarkan pusat penelitian hanya sedikit dan mahal. Akhirnya para petani kecil biasa memanfaatkan hasil panen sebelumnya sebagai benih yang seharusnya digunakan untuk konsumsi, bukan khusus untuk benih. Cara ini justru membiakkan penyakit pada tanaman kentang secara terus menerus.
Akhirnya International Potato Center (CIP) menemukan cara yang disebut “Pemilihan Positif”. Pada prinsipnya adalah memilih tanaman induk yang sehat dan menunjukkan ciri produksi yang baik yang akan digunakan sebagai benih. Sehingga hasil yang didapat nantinya akan lebih baik. Cara ini kemudian disosialisasikan kepada para petani. Yang selalu menarik pada praktik penyuluhan pertanian adalah pendekatannya melalui percobaan. Ruang kelasnya adalah kebunnya langsung. Dan metode pengajarannya melalui praktik lapang (learning by doing). Hasilnya peningkatan panen kentang sampai 28%. Sekitar 14,2 ton panen kentang per hektarnya yang semula hanya 11,8 ton per hektar.
Ternyata Indonesia juga punya terdapat barisan kentang yang berderet-deret dilereng gunung. Letaknya di Ranu Pani, sebuah daerah di kawasan Gunung Semeru, Lumajang, masuk pada kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru).
Dalam #EkspedisiIndonesiaBiru, seorang petani kentang bernama Sukodono yang memiliki lahan seluas 1,5Ha menceritakan kisah suksesnya. ¼ Ha dari lahannya mampu memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp 30 juta. Artinya dari total lahan yang ia punya bisa Rp180juta setiap 4-5bulan masa panen.
Mengenal Ketahanan Pangan di Pesantren At Takwa
Petani di Ranupani juga sudah membuat benih kentang sendiri. Katanya cara ini justru sangat menguntungkan dan menekan biaya pengeluaran inputnya. Bahkan benih yang dihasilkan jauh lebih bagus dari pada membeli. Kentang di Ranu Pani ukurannya cukup besar, 2-3 kentang per kilonya, bahkan ada yang 1 kentang beratnya hampir 1 kilo.
Benih maupun bibit kentang ini diperjualbelikan di antara petani kentang di Ranu Pani. Bibit yang sudah siap tanam dijual sekitar Rp50.000 per batangnya. Jika berupa umbi per biji Rp 3000. Dan ini menjadi prospek bisnis baru di kalangan petani karena untungnya jadi berlipat-lipat.
Petani yang mandiri. Jika semua petani mampu dan mau menerapkannya di setiap daerah di Indonesia, akan sangat mungkin membawa Indonesia untuk mewujudkan kemandirian pangan juga. Dengan mindset bahwa sedikit usaha akan berlipat hasilnya, maka optimisme itu akan terus membawanya menjadi petani yang lebih maju. Pertanian Indonesia jaya!
Penulis : Martina Mulia Dewi Mahasiswa Prodi Agribisnis FP UB