Napoleon Bonaparte, Kaisar besar Perancis, menyampaikan sikap lugas: “Kesahajaan adalah dasar segala moral dan kebajikan utama manusia. Tanpa kesederhanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang.” Baginya, hidup sahaja adalah pertempuran antara akal dan nafsu. Hasrat untuk hidup berlebih dan mengakumulasi adalah bagian dari suara gairah. Tugas akal adalah mengendalikan bunyi hasrat tersebut. Jika gagal, segala ikhwal perbuatan yang berlawanan dengan kebajikan pasti akan terjadi: kejahatan, kelicikan, kekejaman, kebiadaban, keculasan, dan yang lain.
Rasulullah pernah bersabda: “Kekayaan yang hakiki adalah kelimpahan iman dan dicerminkan dalam sifat qanaah.” Sifat kanaah sangat dijunjung oleh Islam. Rasulullah selalu menganjurkan rela menerima dalam kehidupan, yakni merasa cukup dengan yang dipunyai. Sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah ialah rizki yang wajib disyukuri. Siti Aisyah, istri Rasulullah SAW, berucap: ”Kadang-kadang sampai sebulan penuh terlewati tanpa api menyala di dapur kami. Kami hidup hanya dengan kurma dan air putih.” Nabi akan selalu mengerjakan perkara yang diyakini, dipikirkan, dan diucapkan. Seluruhnya menjadi satu paket utuh kehidupan.
Sikap kesahajaan semacam itu adalah pilihan hidup individu yang muncul dari keyakinan. Namun, tabiat itu mesti dikonversi menjadi krida kolektif agar menjadi kebajikan (publik). Pesan ini pula yang dibawa oleh puasa (ramadan). Pada aras inilah para pendiri bangsa juga menyodorkan kosa kata penting, yakni kerakyatan. Ideologi kerakyatan ini yang berulang kali ditulis dan diucapkan oleh Sukarno pada kesempatan apapun agar menjadi keyakinan dan perbuatan yang dihayati. Diksi ini pula yang menyatukan kehendak Bung Karno terhadap “demokrasi politik”, yang kemudian oleh Bung Hatta dinyatakan tidak ada artinya bila tanpa dipasangkan dengan “demokrasi ekonomi”.
Demokrasi politik Bung Karno tak lain ialah dominasi kebijaksanaan dalam proses pengambilan keputusan. Faset itu dijalani lewat permufakatan dari orang-orang yang mewakili suara rakyat. Kearifan cuma muncul dari individu bersahaja yang menanggalkan seluruh atribut kepentingan pribadi. Itulah politik kerakyatan. Sementara itu, demokrasi ekonomi yang dimaksud Bung Hatta adalah alat-alat produksi yang dikuasai oleh rakyat (bukan segelintir pemodal) dan dikelola oleh organisasi ekonomi rakyat, yakni koperasi. Inilah ekonomi kerakyatan. Gabungan keduanya bermuara menjadi “demokrasi kerakyatan” yang meletakkan glamor di bawah karpet agar laku sahaja menjadi pekerti kehidupan.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB