KANAL24, Malang – Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini merupakan momentum untuk menggalakkan program diversifikasi pangan. Demikian pernyataan dari Prof. Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M.Kes, Guru Besar Teknologi Hasil Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya (FTP UB) kepada kanal24.co.id, kamis (14/5/2020).
“Ini waktunya untuk diversifikasi pangan, walaupun diversifikasi ini sudah ada sejak zaman orba, akan tetapi pelaksanaannya naik turun belum intensif. Kadang masyarakat belum bisa melepaskan kebiasaan harus mengkonsumsi nasi, kalau belum makan nasi dianggap belum makan. Konsep seperti itu yang sekarang harus diubah, memang tidak mudah, oleh karena itu butuh dukungan langsung berupa kebijakan dari Pemerintah,” ungkapnya.
Kalau kebiasaan diatas tidak diubah, akhirnya masyarakat terlalu bergantung pada satu komoditas pangan yaitu beras, padahal Indonesia ini punya budaya polowijen. Budaya yang dibawa nenek moyang berupa sumber karbohidrat selain padi atau beras, tetapi ada umbi-umbian, sagu, jagung, sukun, dan sumber karbohidrat lain yang di Indonesia ini banyak sekali tetapi mungkin masyarakat belum memanfaatkan dengan maksimal.
Sehingga ini waktunya pemanfaatan itu, dapat tetap mengkonsumsi nasi tapi diselang-seling, misalnya sarapan dengan makan umbi, kemudian makan siang dengan nasi, dan malam hari bisa mengkonsumsi sagu. Sehingga, ketergantungan pada satu komoditas bahan pangan itu tidak besar.
Disinilah peluang untuk mengolah bahan makanan tadi menjadi produk lain yang lebih diminati dan bisa menjadi variasi pilihan makanan. Misal, ada beberapa orang yang tidak suka makan umbi-umbian, sehingga bisa diolah menjadi beras analog atau ada juga tiwul instan. Jagung bisa diolah menjadi sereal yang praktis tinggal dimasak sebentar kemudian siap disajikan dan itu merupakan sumber karbohidrat pengganti nasi, ada juga kacang-kacangan. Terdapat pula inovasi lain, dengan mengolah umbi-umbian / jagung / ketela menjadi pasta atau mie untuk variasi. Hal ini bisa memunculkan peluang usaha baru di masyarakat.
Gerakan mencintai dan memproduksi produk lokal harus ditingkatkan, mungkin tiap daerah tidak Sama komoditas pangannya. Misal, Madura yang terkenal dengan jagung, bisa diolah menjadi jagung instan, beras jagung atau ampok dapat diolah menjadi produk yang praktis dan menarik minat konsumen di pasaran.
“Kemudian empon-empon yang kaya sekali untuk meningkatkan daya tahan tubuh bisa diolah menjadi minuman, suplemen, atau herbal yang siap seduh, atau jamu yang siap konsumsi. Banyak penelitian seperti ini di FTP UB yang mungkin bisa diaplikasikan ke masyarakat,” kata Dewanti.
Kalau untuk sekarang, mungkin stok logistik masih ada. Tapi kedepan, memang agak mengkhawatirkan apalagi kalau terlalu bergantung pada impor.
“Menurut saya harus ada gerakan di masyarakat untuk dihimbau kembali ke alam. Artinya, kita berdayakan lahan yang ada untuk menghasilkan bahan pangan. Misal, pemanfaatan pekarangan rumah dengan sistim bertanam yang intensif,” lanjutnya.
Diperlukan sinergi antara Pemerintah dan Perguruan Tinggi, supaya masyarakat bisa memproduksi bahan pangan sendiri dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah.
Bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan dengan lahan terbatas, bisa menggunakan sistem tanam vertikal, hidroponik, atau polibag. Masyarakat bisa menanam aneka tanaman, seperti sayuran, buah-buahan, empon-empon yang setidaknya bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka terlebih dahulu, apabila ada kelebihan produksi bisa dijual ataupun diolah. Pemerintah dapat membantu secara langsung kepada masyarakat dengan pemberian bibit atau sarana lain.(meg)