KANAL24, Malang – Penyebab merebaknya intoleransi di Indonesia dijelaskan oleh Yudi Latif, Anggota Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan pada Diskusi Akhir Tahun Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB) bertajuk Merawat Toleransi dan Kebhinekaan, senin (28/12/2020).
Yudi menyebut, ada beberapa penyebab, pertama secara sosiobiologi, kromosom manusia 98 persen identik dengan simpanse atau animal spirit.
“Simpanse itu selfish, membangun sosiabilitas atas dasar kesamaan darah dan primordial, relasinya dominatif. Simpanse akan memilih pemimpin yang pintar melakukan pencitraan dibanding yang paling kekar badannya. Hal ini dilakukan demi memperbesar peluang keberlanjutan kelompok dengan genetik yang sama. Predis posisi simpanse ini yang ada dalam DNA manusia,” terang Yudi.
Lanjut, untungnya manusia adalah satu-satunya primata yang bisa mengembangkan keyakinan, nilai, pengetahuan, kebijaksanaan, dan intelektualitas yang tinggi. Kalau simpanse hanya mengikuti natural liberty (kebebasan alamiah), manusia bisa menciptakan keyakinan dan muncul pandangan hidup. Ini berarti, kalau ada radikalisme intoleransi muncul, manusia mengalami kegagalan dalam proses pembudayaan nilai, pandangan dunia.
Ini kritik besar terhadap dunia pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal. Jadi, pendidikan di Indonesia tidak memprioritaskan bagaimana cara memanusiakan manusia, yang artinya membangun nilai. Ketika kegagalan itu meninggi maka melahirkan keluwesan generasi yang tunai nilai.
Selain itu, kita juga mengalami banyak kecemasan dalam hidup berbangsa dan dalam kehidupan global. Indonesia sebagai masyarakat majemuk, tentu menyatukan kepingan-kepingan komunalisme sulit sekali. Lalu, masyarakat plural ini diliputi oleh banyak kecemasan. Tanpa tata kelola negara yang baik, akhirnya mengembangkan sikap tidak percaya pada kelompok yang dianggap sebagai biang keroknya. Terjadilah mutual distrust, ketika negara tidak mampu melakukan tata kelola yang benar, tidak ada jaminan hukum yang pasti, secara alamiah orang akan memperkuat divensive mechanismenya dan akan kembali kepada ikatan primordialnya. Disitulah gejala-gejala intoleransi menguat, jadi harus fair.
“Intoleransi bukan hanya kultural, tapi juga struktural, eksklusifisme politis, oligarki politis. Solusinya kalau ingin keluar dari eksklusifisme intoleransi menuju kehidupan yang lebih inklusif maka kita mengembangkan satu tata kelola kenegaraan, kemasyarakatan yang bisa menjamin inklusi budaya, politik, ekonomi dan itulah pesan pokok dari Pancasila,” jelasnya.
Kalau diringkas sila 1,2,3 di Pancasila itu intinya Hablum Minallah, Hablum Minannas, dan Hablum Minal Alam. Sementara tata ekonomi di sila kelima, tapi untuk itu harus ada agensi orkestrasinya yakni tata kelola sila keempat supaya politiknya juga lebih inklusif.
“Perlu ada pemikiran yang holistik, inklusif, membuka diri penuh cinta, bagaimana Pancasila mengajarkan segala warna bisa saling bersatu, rasa bersambung, rizki berbagi. Semoga dengan covid ini memberi kita ruang titik balik, daripada saling menyalahkan lebih baik kita atasi sumber-sumbe masalah bangsa ini dengan kembali menjalankan secara konsisten politik pembangunan berdasarkan paradigma Pancasila,” tandasnya. (Meg)