KANAL24, Malang – Laboratorium Hukum FH UB mengambil langkah untuk memfasilitasi keresahan dan kegalauan masyarakat dan akademisi terkait kondisi politik yang ada di Indonesia saat ini. Hari ini (16/10/2019) dengan dihadiri oleh akademisi hukum seluruh Jawa Timur, digelar Seminar Nasional Pembentukan Perundang-Undangan yang Harmonis dan Responsif.
Ketua Lab. Hukum, Dr. Adi Kusumaningrum, S.H., M.H mengungkapkan bahwa nantinya hasil dari seminar dan diskusi panel ini nanti akan berupa buku yang pada November mendatang diserahkan kepada BPHN bertepatan dengan agenda Prolegnas.
“Kita akan membahas isu-isu di diskusi 6 panel ini, sampai nanti menjadi buku. Buku itu langsung kita serahkan ke BPHN sebagai masukan resmi dari FH UB. Targetnya bulan November karena nanti ada agenda Prolegnas,” ujar Adi.
Diskusi ini adalah bagaimana FH UB memformalkan diskusi-diskusi nonformal yang terjadi sekaligus memberi masukan secara resmi. Diskusi kritis yang menghasilkan output jelas dan terukur, juga bebarengan dengan momen Dies Natalies UB ke 57, dirasa Adi merupakan perpaduan yang pas.
Sementara itu, Dekan FH UB, Dr. M. Ali Syafaat, S.H., M.H menambahkan latar belakang seminar ini adalah adanya banyaknya problem yang muncul terkait RUU.
“Selain yang masyarakat sampaikan tentang persoalan substansi, juga ada persoalan mekanisme atau proses yang tidak melibatkan partisipasi publik. Berdasarkan penangkapan kita terhadap persoalan tersebut, lalu kita melakukan kegiatan ini yang diharapkan bisa mengevaluasi secara objektif persoalan proses dan substansi secara akademis,” terangnya.
Dari kegiatan ini diharapkan bisa memberikan kontribusi pemikiran, semacam evaluasi perbaikan kedepan, apa-apa saja yang bisa dilakukan. Terutama terkait proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimulai tahun depan.
“Akan ada Prolegnas untuk jangka menengah, diharapkan dengan begitu proses pembentukan perundang-undangan periode yang akan datang bisa menjadi lebih baik. Kalau bahasa yang diangkat dalam seminar ini adalah harmonis artinya tidak terjadi pertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Tetap responsif, artinya kalau ukuran responsif paling mudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak banyak penolakan dari masyarakat,” tutup Dekan kelahiran Lamongan tersebut. (meg)