Kanal24, Malang — Disrupsi teknologi melalui kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi tantangan serius dalam dunia pendidikan hukum. Jika sebelumnya mahasiswa hukum lebih banyak diasah pada kemampuan intelektual melalui kajian undang-undang, analisis norma, dan kritik terhadap persoalan hukum, kini orientasi pembelajaran kerap bergeser pada aspek mekanisme teknis yang justru berpotensi melemahkan kualitas intelektual mahasiswa. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran sekaligus dorongan untuk menata ulang kurikulum hukum agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Dalam Seminar Nasional bertema “Aspek AI dalam Kurikulum Ilmu Hukum” yang digelar oleh Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum PTN se-Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (3/9/2025), Dr. Imam Budi Santoso, S.H., M.H., Dekan FH Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), menegaskan pentingnya merumuskan konsep pendidikan hukum yang tidak sekadar mengadopsi teknologi, tetapi tetap berpijak pada tiga komponen utama yang wajib dimiliki sarjana hukum: pemikiran, lisan, dan hati.
Baca juga:
Pekerja Kreatif, Begini Cara Menang di Era AI

Tiga Pilar Penting Sarjana Hukum
Menurut Imam, sarjana hukum sejati harus dibentuk melalui keseimbangan antara kemampuan berpikir kritis, ketajaman berbicara, dan integritas etika.
“Yang pertama adalah pemikirannya yang kuat untuk mengkritisi dan menganalisis, yang kedua lisannya harus tajam berbicara berdasarkan fakta, dan yang terakhir, yang paling utama, adalah hati yang memiliki etika dalam berbuat,” jelasnya.
Imam menekankan bahwa penggunaan AI dalam pembelajaran hukum tidak boleh sepenuhnya mendominasi, karena akan mengikis nilai-nilai kemanusiaan. “AI bisa menjadi alat bantu, tetapi tidak boleh 100 persen menggantikan proses belajar hukum. Kalau itu terjadi, kita justru mencetak lulusan hukum yang dikuasai teknologi, bukan sarjana hukum yang menguasai teknologi,” tambahnya.
Menuju Kurikulum Hukum Berbasis Teknologi
Lebih jauh, Imam mengungkapkan bahwa tantangan terbesar fakultas hukum di Indonesia saat ini adalah menyiapkan kurikulum yang mampu mengintegrasikan teknologi, khususnya AI, tanpa kehilangan karakter dasar pendidikan hukum. Sarjana hukum masa depan, menurutnya, harus menjadi pribadi yang melek teknologi, kritis, dan tetap beretika.
“Yang ideal ke depan adalah sarjana hukum yang melek teknologi. Sarjana hukum yang menguasai teknologi, maka dia akan menguasai pasar. Jadi bukan hukum yang dikuasai teknologi, melainkan hukum yang menguasai teknologi,” tegas Imam.
Ia menambahkan, diskusi dalam seminar ini diharapkan menghasilkan kesepakatan bersama di tingkat nasional melalui Badan Kerja Sama Dekan FH PTN se-Indonesia. “Harapannya, hasil seminar ini tidak berhenti pada tataran diskusi, tapi bisa diwujudkan dalam penyusunan kurikulum hukum secara menyeluruh agar bisa diimplementasikan di seluruh fakultas hukum di Indonesia,” paparnya.
Baca juga:
Pakar Hukum FH UB: Kritik Adalah Napas Demokrasi
Mendorong Lulusan Hukum Kompetitif
Imam juga menegaskan bahwa tujuan dari perumusan kurikulum berbasis AI adalah menyiapkan lulusan hukum yang siap bersaing di pasar global. Alumni hukum yang memahami dan menguasai teknologi diyakini akan memiliki daya saing lebih tinggi, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional.
“Kita sedang menyiapkan generasi hukum yang tidak sekadar tahu undang-undang, tetapi juga paham bagaimana memanfaatkan teknologi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan begitu, alumni kita akan lebih unggul dan kompetitif di pasar kerja,” pungkasnya. (nid/dht)