Kanal24, Malang – Akibat perubahan iklim, tantangan baru dalam produktivitas pertanian mulai muncul. Kekhawatiran akan turunnya hasil pertanian, terutama tanaman pangan karena tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan kondisi iklim, dialami oleh industri pertanian saat ini. Berbagai upaya dilakukan untuk mengantisipasi krisis pangan yang menjadi persoalan dunia.
Pertanian menjadi sektor yang terdampak karena tanaman menyesuaikan hidupnya dengan iklim di sekitar. Tanaman tersebut berusaha bertahan di tengah perubahan iklim yang drastis. Hal yang paling esensial ialah tanaman pangan. Komoditas ini dinilai sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia.
Jika berbicara tanaman pangan di Indonesia, masyarakat lebih familiar dengan padi, jagung, dan kedelai (Pajale). Tanaman ini erat kaitannya dengan kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya, tanaman pangan potensial lainnya juga tersedia, seperti sagu, ubi jalar, dan ubi kayu.
Menanggapi hal ini, Akademisi Fakultas Pertanian UB, Dr. Budi Waluyo memberikan catatan, bahwa penurunan produktivitas pertanian tentunya harus diantisipasi. Apalagi berkaitan dengan tanaman pangan.
“Jika terjadi peningkatan suhu, tanaman tentunya akan menyesuaikan juga,” jelas Budi kepada Kanal24. Ia mengatakan bahwa perubahan iklim akan berdampak pada produksi tanaman pangan.
Budi menyampaikan tiga syarat agar varietas tanaman mampu menyesuaikan perubahan iklim yang terjadi. “Yang pertama kita harus menyiapkan varietas unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim,” ujarnya. Menurutnya, menurunnya produktivitas tanaman akibat perubahan iklim dapat diantisipasi dengan menyiapkan varietas unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim. “Hal ini yang utama,” tegasnya.
Misalnya, sebuah kawasan terjadi peningkatan suhu, pola hujan cepat berubah. Tentunya kawasan ini harus ditanami varietas tanaman yang adaptif terhadap cekaman air dan juga toleran terhadap kekurangan air/kekeringan.
“Kita juga harus menyiapkan varietas unggul terhadap serangan hama penyakit,” jelasnya. Tak ketinggalan, Budi juga menjelaskan bahwa perubahan iklim juga menyebabkan perubahan pada pola hama. Varietas yang ada harus mampu melawan hama itu.
Menurut Budi, tak hanya varietas saja yang perlu disiapkan dengan matang. Teknologi yang matang juga diperlukan. “Kita harus menyiapkan teknologi yang bisa mengantisipasi perubahan iklim global ini,” jelasnya. Budi mengatakan bahwa Universitas Brawijaya telah memiliki teknologinya. Hanya menunggu untuk diterapkan.
Teknologi ini juga bisa diimplementasikan dengan budidaya tanaman pada lingkungan yang terkontrol, misalnya di rumah kaca. Tak hanya itu, kawasan tertentu seperti padi yang adaptif di kawasan tertentu bisa dilakukan.
Budi juga menjelaskan syarat terakhir untuk mengantisipasi menurunnya produktivitas pertanian dengan pengembangan teknologi untuk pemetaan. “Dengan adanya forecasting ini, kita bisa memprediksi dalam waktu cepat,” jelasnya. Ia mengatakan bahwa teknologi pemetaan ini bisa memberikan rekomendasi.
Tak hanya itu, Budi juga memberikan catatan terkait dengan penurunan nilai produksi. “Penurunan nilai produksi bukan semata karena produksi tanaman saja, tetapi luas penanamanan,” ujarnya. Luas penanaman yang makin berkurang juga membawa dampak turunnya nilai produksi.
Program food estate yang digaungkan pemerintah Presiden Joko Widodo juga nyatanya harus ditinjau ulang. “Pemerintah juga harus menyiapkan teknologinya terlebih dahulu,” jelas Budi. Hal ini tentunya untuk mengantisipasi kegagalan dalam program tersebut.
Pemerintah tentunya harus menyiapkan varietas yang adaptif. Hal ini mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat beragam di setiap wilayahnya. “Misalnya di Kalimantan, tanah gambut harus disiapkan varietas khusus dan teknologi yang cukup,” ujar Budi.
Budi juga memberikan catatan bahwa varitas tanaman, khususnya tanaman pangan, harus dikombinasikan. Kombinasi ini tentunya agar beban penyediaan pangan tidak berat. Tentunya tanaman pangan tersebut harus mampu menyediakan kebutuhan bagi masyarakat Indonesia.
Budi yakin perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas pertanian, khususnya tanaman pangan akan bisa diantisipasi. Khususnya di Indonesia sebagai negara agraris yang menggantungkan bahan makanan pada beras. “Masyarakat harus jeli. Penurunan produksi ini apakah akibat dari iklim atau menyempitnya lahan pertanian,” tutupnya. (raf)