Suku Baduy, seperti yang dibahas sebelumnya suku yang terlepas dari modernitas. Penduduknya mengandalkan alam untuk bertahan hidup. Mata pencaharian yang dilakukan bertani padi huma. Selain itu mereka juga melakukan berkebun, mengolah hasil hutan, dan menjual apapun yang disediakan alam ke luar Baduy.
Kita lihat potret kehidupan Suku Baduy Luar dan Baduy dalam dalam kesehariannya. Bagaimana mereka memanfaatkan apa yang disediakan alam secara bijaksana. Suku Baduy luar dan Baduy dalam dipisahkan oleh jembatan akar sebagai penghubung keduanya karena terpisah oleh sungai. Setiap hari orang lalu-lalang dengan segala aktivitasnya. Keluarga Sapri misalnya, yang merupakan warga Baduy Dalam yang sehari-hari bertani. Ini diabadikan masih dalam film documenter Watchdoc, Ekspedisi Indonesia Biru. Ia mengatakan bahwa hasil panen padi itu tidak pernah dijual karena adat melarang hal itu, jadi bisanya di barter dengan barang yg lain. Tetapi untuk hasil bumi yang lain boleh diperjualbelikan. Penanaman padi hanya boleh dilakukan sekali dalam setahun, tanpa ada campur tangan bahan kimia. Bahkan cangkul pun tak digunakan. Lahan yang digunakan bercocok tanam adalah lahan berpindah, dan jika lahan kosong tersedia maka orang lain pun boleh menggunakannya. Dan lahan yang dimiliki tidak boleh diperjualbelikan di luar warga Baduy. Inilah satu potret kemandirian pangan yang coba dilakukan oleh Suku Baduy agar tak tergantung pada orang luar. Dan tentu untuk menjaga keutuhan dan keaslian alamnya dari kerusakan tangan manusia.
Sedangkan di Desa Campaka, Baduy Luar misalnya kita lihat potret kehidupan keluarga Mursid, setiap harinya menyadap lira untuk diolah menjadi gula aren. Fyi, gula aren hanya boleh dibuat di Baduy Luar, dan di Baduy dalam tidak ada pemrosesan menjadi gula aren. Nantinya gula aren inilah yang akan menjadi pundi-pundi rupiah bagi keluarga Mursid. Selain gula aren yang dihasilkan Mursid, ada hasil bumi lainnya yang dikeluarkan dari hutan dan kekayaan alam Suku Baduy berupa pisang, petai, jengkol, durian, madu, yang nantinya akan dibawa ke Ibukota Rangkasbitung untuk dijual ke pasar. Bersama-sama mereka akan melakukan perjalanan jauh menuju Ibukota dengan berjalan kaki dan tanpa alas kaki. Kebiasaan yang dilakukan Suku Baduy, pantang memakai alas kaki. Bayangkan bagaimana terkena panasnya aspal jalan ibukota, sudah kebal rasanya. Orang-orang di pasar mengenal suku Baduy dengan Madu hutan murni yang diperjualbelikan mereka. Dan dari sini, Warga Baduy bisa membeli kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selain kebutuhan pokok yang sudah disediakan alam tentu.
Suku Baduy, Harmoni Pertanian dan Alam
Sebuah filosofi luhur yang ternyata sudah turun temurun dilestarikan masyarakat Baduy adalah kunci dari apa yang terlihat hingga kini. Saya menemukannya pada beberapa kunjungan yang telah dilakukan orang-orang yang sudah dulu menjamah tempat itu dan berinteraksi langsung dengan Suku Baduy. Salah satunya yang dilakukan oleh Helmi Afandi (Kumparan). Filosofi luhur yang dipegang dari generasi ke generasi itu berbunyi, “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)”. Maknanya adalah apapun yang telah diberikan Tuhan terhadap manusia berupa limpahan kekayaan alam, harus dijaga sebagaimana adanya, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurang. Sebab, pada hakikatnya Tuhan telah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan manusia, bukan apa yang menjadi keinginan manusia. Inilah yang menjadi kunci kenapa kelestarian alam di sana terus terjaga. Tak tergerus oleh teknologi dan modernisasi.(*)
Penulis : Martina Mulia Dewi Mahasiswa Jurusan Agribisnis FP UB