Kementerian Ketenagakerjaan 29 Mei lalu merilis aturan baru tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 ini mewajibkan pembentukan satuan tugas di setiap perusahaan. Akankah memberi efek jera kepada pelaku?
Kanal24 – Dampak gerakan #MeToo, yang marak di Amerika sejak 2016 akhirnya sampai juga di Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja pada 29 Mei lalu memberlakukan Kepmenaker No.88 Tahun 2023 yang memberi pedoman bagi upaya mencegah dan menangani kekerasan seksual di tempat kerja. Korban menjadi fokus utama aturan ini.
Salah satu aturan yang dinilai sebagai terobosan besar adalah pemberlakuan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual. Bentuk sanksi bervariasi, mulai dari pemberian surat peringatan tertulis, pemindahan atau penugasan ke divisi/unit/bagian kerja lain, mengurangi atau menghapus sebagian atau seluruh wewenang pelaku di perusahaan, pemberhentian sementara, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
Meskipun belum ada pekerja yang mengetahui aturan baru yang akan menjadi tambahan perlindungan hukum bagi mereka itu, dua pekerja yang diwawancarai VOA merespons positif aturan baru itu.
“Bagus kalau ada aturan. Semoga bisa menjadi efek jera pelaku. Para pekerja juga lebih tenang dalam bekerja,” ujar Aini, pekerja perempuan berusia 30 tahun, saat diwawancarai VOA, Jumat (2/6).
Hal senada diungkapkan Prasetyo, usia 35 tahun, pekerja di sebuah penginapan di Solo.
“Saya dukung aturan Kemenaker ini. Saya setuju untuk melindungi pekerja”, ujar laki-laki yang sudah tujuh tahun menjadi office boy atau pramukantor di sebuah penginapan itu.
Berbicara dalam sebuah diskusi di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pada Kamis (1/6), Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, memperingatkan kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja dapat menimpa siapapun, baik perempuan maupun laki-laki. Menurut Ida, pihaknya juga memastikan Kepmenaker ini menjunjung kesetaraan gender.
“Sanksinya yang paling keras sampai pemutusan hubungan kerja. Sekali lagi di Kepmenaker ini tidak mengurangi hak korban untuk mengajukan tindak kekerasan seksual kepada pihak kepolisian dan pelaku dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Deklarasi Bersama
Aturan yang hampir serupa sebenarnya sudah pernah diterbitkan dalam bentuk Surat Edaran Menakertrans Nomor 3 Tahun 2011 untuk memberi perlindungan bagi tenaga kerja perempuan. Untuk memperkuat surat edaran yang sudah berlaku selama lebih dari 12 tahun itu, dikeluarkanlah kepmenaker baru ini. Aturan ini juga berpotensi dinaikkan levelnya menjadi peraturan menteri.
Aturan baru ini mendorong pembentukan satuan tugas di dalam perusahaan yang fokus mencegah terjadinya kekerasan seksual, baik yang meliputi unsur manajemen perusahaan dan karyawan.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Eli Rosita Silaban merespons positif regulasi baru ini. Apalagi karena banyak kasus kekerasan seksual di tempat kerja tak terdeteksi karena para korban tak berani melapor, ujarnya.
“Kami juga punya usulan supaya selanjutnya di serikat pekerja,yaitu dilibatkan dalam satuan tugas. Para korban selama ini takut atau malu melapor,” ungkapnya.
Regulasi itu mengatur jumlah anggota satgas – yang harus gasal – paling sedikit tiga orang. Tugas anggota satgas yaitu menyusun dan melaksanakan program yang mengacu pada kebijakan perusahaan terkait upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja.
Ketua Umum APINDO, Hariyadi Sukamdani, menjelaskan isu kekerasan seksual menjadi tantangan tersendiri bagi para pengusaha.
“Terbitnya Kepmenaker Nomor 8 Tahun 2023 sebagai penguatan dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah diundangkan. Kalau lihat data ILO (International Labor Organization)Agustus-September 2022 sekitar 70,81 persen pekerja pernah jadi korban. Sebanyak 54 persen pelakunya atasan atau rekan kerja,” ungkapnya.
Menaker Ida Fauziah mengakui pemberlakuan aturan baru ini dipicu oleh kasus yang dialami seorang pekerja kontrak di Cikarang. Dia diajak libur tinggal atau staycation oleh bos pabriknya dengan dalih untuk memperpanjang kontrak pekerja perempuan malang itu.
“Jadi kejadian ini menjadi sebuah trigger (pemicu) tapi sesungguhnya kita sudah agak lama punya komitmen tinggi apalagi setelah UU TPKS Nomor 12/2022. Mudah-mudahan ini bukan seperti fenomena gunung es. Mudah-mudahan ini tidak mewakili kondisi di tempat kerja,” pungkas Ida. [ys/em]