Kanal24, Malang – Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa menandai babak baru pengelolaan fiskal Indonesia di tengah tantangan berat. Pertumbuhan ekonomi yang masih bertahan di kisaran 5 persen tidak cukup menutup ambisi program-program pemerintah yang menuntut pendanaan raksasa. Di balik stabilitas angka pertumbuhan, tersimpan tekanan serius: penerimaan pajak yang belum optimal, beban cukai yang menjerat industri, hingga risiko gejolak global yang bisa mengguncang pasar domestik.
“Ekonomi itu bukan hanya soal keuangan, di dalamnya ada perdagangan, industri, dan banyak aspek lain. Karena itu jabatan ini berat sekali,” tegas Prof. Dr. Candra Fajri Ananda, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, kepada Kanal24, Selasa (23/9/2025).
Baca juga:
Garuda Tambah 7 Armada Baru Tahun Ini
Menurut Prof. Candra, pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa merupakan hak prerogatif presiden yang bisa dipicu oleh perbedaan arah kebijakan atau kebutuhan percepatan. Meski demikian, ia mengakui pengalaman panjang Sri Mulyani yang mengabdi hampir 14 tahun sebagai menteri menjadi salah satu rekor terlama setelah Ali Wardhana.
APBN sebagai Tulang Punggung Pembangunan
Besarnya ambisi program pemerintah membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi penopang utama pembangunan. Namun tren penerimaan negara menunjukkan adanya tekanan, baik dari sisi pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Prof. Candra menjelaskan, sistem perpajakan saat ini baru mampu menyumbang sekitar 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), padahal target Presiden Prabowo mencapai 16 persen. Hal ini menuntut perubahan besar dalam sistem pemungutan pajak, mulai dari perbaikan mekanisme hingga penguatan kelembagaan.
“Kalau ekonominya tumbuh baik, mestinya pajak juga meningkat. Masalahnya, wajib pajak yang sudah patuh justru masih dikejar untuk membayar lebih. Inilah yang sedang dibenahi oleh Menteri Keuangan baru,” paparnya.
Selain itu, sektor industri yang masih dalam tahap berkembang sering meminta keringanan pajak agar dapat tumbuh. Industri ramah lingkungan misalnya, berharap diberi kelonggaran agar bisa bersaing. Dilema ini, menurut Prof. Candra, menjadi tantangan tersendiri karena di satu sisi negara membutuhkan pendapatan, sementara di sisi lain industri dalam negeri perlu dilindungi.
Dilema Fiskal: Antara Pendapatan Negara dan Beban Industri
Dalam skema pembiayaan negara, sektor industri memegang peranan penting. Namun, berbagai kebijakan fiskal justru menimbulkan dilema. Industri yang baru tumbuh, khususnya yang berorientasi ramah lingkungan, kerap meminta kelonggaran agar mampu bersaing. Di sisi lain, negara membutuhkan pendapatan yang stabil.
Sektor rokok menjadi contoh paling gamblang. Produsen besar seperti Gudang Garam harus menanggung beban ganda berupa pajak korporasi dan cukai tinggi, sehingga 68 persen harga rokok disedot untuk penerimaan negara.
“Dari sisi penerimaan negara, hal ini jelas menguntungkan. Tapi dari sisi industri, beban itu sangat berat dan bisa berdampak pada konsumen. Kalau penerimaan dari cukai terganggu, sementara kebutuhan pembiayaan negara besar, tentu ini akan menjadi masalah,” jelas Prof. Candra.
Menurutnya, Menteri Keuangan Purbaya kini tengah menata ulang sistem pajak dan cukai agar lebih efektif, dengan langkah agresif mengejar penerimaan tanpa mengorbankan daya tahan industri secara berlebihan.
Transisi dan Masa Depan Ekonomi
Di balik pergantian menteri, terdapat sisi personal yang turut mewarnai perjalanan Sri Mulyani. Prof. Candra menyebutkan peristiwa penjarahan rumah pribadi mantan Menteri Keuangan itu sebagai pukulan berat. Rumah tersebut merupakan hasil kerja keras Sri Mulyani semasa menjadi konsultan dan dosen, sekaligus menyimpan banyak kenangan keluarga.
“Pesan beliau saat perpisahan di Kementerian Keuangan adalah ‘jaga privasi saya’. Itu mencerminkan perasaan beliau yang sangat dalam setelah rumahnya dijarah,” ujar Prof. Candra.
Baca juga:
Kirim CV di Waktu Tepat, Peluang Lebih Tinggi
Meski meninggalkan jabatan, Sri Mulyani diperkirakan tetap akan berkarya di dunia akademik. Ia disebutkan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, bahkan berziarah ke makam orang tuanya. Prof. Candra menilai kemungkinan besar Sri Mulyani akan kembali mengajar di Universitas Indonesia atau menjadi dosen tamu di kampus lain, termasuk Universitas Brawijaya.
Sementara itu, kondisi ekonomi global yang bergejolak menjadi tantangan tambahan bagi Indonesia. Beberapa sektor ekspor, seperti tekstil dan furnitur dari Jawa Timur ke Amerika Serikat, mulai terdampak. Menurut Prof. Candra, menjaga stabilitas domestik menjadi kunci agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. “Yang penting, jangan sampai terjadi gelombang PHK besar-besaran. Pasar dalam negeri harus diperkuat,” pungkasnya. (nid/pgh)