Kanal24– Tahun 2025 menjadi babak baru dalam dunia smartphone. Di tengah persaingan yang makin sengit, para produsen kini menjadikan kecerdasan buatan (AI) sebagai senjata utama. Label “AI-powered” bermunculan di hampir setiap peluncuran perangkat, dari kamera pintar hingga asisten suara yang diklaim memahami emosi manusia. Namun, pertanyaannya: benarkah semua fitur itu revolusioner? Ataukah hanya gimik untuk mendongkrak penjualan?
Tren AI di smartphone berkembang pesat sejak popularitas ChatGPT meledak pada 2023. Keajaiban AI generatif membuka mata publik akan potensi teknologi ini. Tak butuh waktu lama, perusahaan teknologi berlomba-lomba menyisipkan AI dalam setiap fitur, tak peduli relevansinya.
Baca juga:
Rahasia Cantik Korea: Glowing Tanpa Mahal
Manfaat Nyata: AI yang Memudahkan Hidup
Sejumlah fitur memang membawa kemudahan signifikan. AI kini mampu mempelajari kebiasaan pengguna untuk menyesuaikan kecerahan layar, memberikan balasan pesan otomatis, hingga mengatur efisiensi baterai.
Google Pixel, misalnya, mampu menghasilkan foto berkualitas tinggi berkat AI meski hanya menggunakan sensor kamera biasa. Apple pun membenamkan Neural Engine untuk mendukung fitur Live Text dan Smart HDR yang membantu pemrosesan gambar lebih cepat dan detail. Asisten suara kini lebih responsif, bahkan bisa memproses perintah tanpa koneksi internet—meningkatkan privasi sekaligus kecepatan.
Risiko Besar: Privasi di Ujung Tanduk
Namun di balik kecanggihan itu, muncul risiko serius: privasi pengguna. Agar dapat bekerja maksimal, AI memerlukan data dalam jumlah masif—dari lokasi, foto pribadi, hingga aktivitas digital pengguna. Yang jadi masalah, tidak semua pengguna sadar akan skala pengumpulan data tersebut. Fitur seperti rekomendasi lokasi makan siang, misalnya, bekerja karena sistem tahu di mana pengguna berada, apa yang sering dimakan, hingga kapan waktu istirahat biasanya dilakukan.
Meski banyak produsen menjanjikan keamanan data, kebocoran tetap sering terjadi. Ini memicu kekhawatiran bahwa AI di smartphone bisa menjadi alat pengawasan yang canggih—bersembunyi di balik kenyamanan.
Gimik yang Mengilusi: AI Sebagai Alat Marketing
Tak semua fitur AI benar-benar pintar. Banyak produsen memanfaatkan istilah “AI” sebagai pemanis promosi. Fitur seperti wallpaper yang berubah sesuai suasana hati atau filter wajah yang diklaim memahami ekspresi sebenarnya hanya dibangun dari teknologi lama dengan kemasan baru. Fenomena ini menciptakan celah antara ekspektasi dan kenyataan. Fitur-fitur semacam itu sering kali hanya digunakan sekali-dua kali, kemudian dilupakan pengguna karena minim manfaat nyata.
AI Mempercepat Usia Pakai Smartphone?
Ironisnya, AI yang dirancang untuk membuat smartphone lebih pintar, justru bisa mempercepat usia pakai perangkat. Banyak fitur AI modern membutuhkan chip khusus seperti NPU (Neural Processing Unit). Akibatnya, perangkat yang tidak memilikinya akan terasa lamban dan terbatas.
Hal ini memperkuat kekhawatiran praktik planned obsolescence, yaitu strategi perusahaan agar perangkat lama terasa usang sebelum waktunya. Smartphone yang masih berfungsi baik bisa terasa ketinggalan zaman hanya karena tidak mendukung fitur AI terbaru.
Baca juga:
Panduan Lengkap Pilih Buku Tulis Terbaik
Peran Konsumen: Lebih Kritis dan Cermat
Di tengah gempuran fitur-fitur bombastis, konsumen dituntut untuk lebih kritis. Tidak semua teknologi baru perlu diadopsi. Pertanyaan seperti “Apakah saya benar-benar membutuhkan fitur ini?” harus lebih sering diajukan. Beberapa fitur revolusioner di masa lalu, seperti 3D Touch dan gesture control, akhirnya ditinggalkan karena kurang relevan. Hal serupa bisa terjadi pada fitur-fitur AI hari ini jika publik mulai sadar bahwa tidak semua yang tampak “cerdas” benar-benar bermanfaat.
Kesimpulan: Antara Harapan dan Realita
AI bukanlah musuh. Ia adalah alat yang sangat bermanfaat bila dikembangkan dan digunakan secara bijak. Namun ketika fungsinya lebih sering dimanfaatkan sebagai alat pemasaran ketimbang solusi nyata, kepercayaan publik bisa tergerus. Kini, bola ada di tangan produsen dan konsumen. Produsen ditantang untuk menghadirkan inovasi yang benar-benar bermakna, bukan sekadar mencolok. Sementara konsumen, harus makin cerdas menilai: mana AI yang membantu, dan mana yang hanya menjual mimpi. (nwv)