Kanal24, Malang — Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025. Dalam laporan bertajuk June 2025: Global Economic Prospects yang dirilis dan dikutip pada Kamis (12/6/2025), pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya akan mencapai 4,7 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan proyeksi tahun sebelumnya yang berada pada angka 5 persen.
Prediksi ini menempatkan Indonesia bersama dengan China dan Thailand sebagai bagian dari kategori emerging market and developing economies di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Kendati menurun, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan kembali tumbuh pada 2026 menjadi 4,8 persen.
Baca juga:
Escape Sale Berikan Diskon Menarik di Grand Mercure Malang Mirama
Penurunan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ekonomi China yang sempat menunjukkan ketangguhan pada awal 2025 juga diprediksi tumbuh lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan berada di angka 4,5 persen pada 2025 dan melambat lagi menjadi 4 persen di 2026.
Meskipun China masih menunjukkan ekspansi ekspor dan pertumbuhan konsumsi yang ditopang oleh dukungan fiskal, penurunan kepercayaan konsumen dan melemahnya pasar properti terus menjadi tantangan. Investasi di sektor real estate pun menurun lebih jauh, meskipun investasi manufaktur dan infrastruktur tetap mendukung aktivitas ekonomi.
Di kawasan Asia Timur dan Pasifik secara keseluruhan, aktivitas manufaktur mengalami pelemahan. Indeks manajer pembelian turun di sejumlah negara besar di kawasan. Konsumsi swasta bertahan stabil berkat kebijakan moneter yang masih akomodatif. Namun, bencana alam seperti gempa bumi berkekuatan 7,7 SR yang mengguncang Myanmar akhir Maret juga turut mengganggu aktivitas ekonomi kawasan, termasuk berdampak pada Thailand.
Inflasi harga konsumen sejauh ini masih tergolong rendah di sebagian besar negara Asia Timur dan Pasifik. Hal ini ditopang oleh penurunan harga komoditas, tekanan permintaan yang moderat, serta kebijakan pengendalian harga di beberapa negara. Inflasi utama dan inti bahkan tetap berada dalam kisaran target resmi pemerintah.
Rupiah Tertekan dan Suku Bunga Turun
Di tengah dinamika global, mata uang rupiah turut mengalami tekanan. Ketidakpastian kebijakan domestik membuat nilai tukar jatuh ke posisi terendah pada awal April. Meskipun sempat pulih seiring penundaan kenaikan tarif oleh Amerika Serikat dan pencabutan sebagian tarif oleh China dan AS, kekhawatiran investor tetap membayangi.
Situasi serupa terjadi di China, di mana inflasi harga konsumen dan produsen juga tercatat sangat rendah. Penyebabnya antara lain adalah lemahnya harga komoditas global, terutama energi dan logam, serta permintaan domestik yang tidak mencukupi. Selain itu, persaingan ketat antarperusahaan untuk merebut pangsa pasar juga berkontribusi menekan harga.
Ketegangan perdagangan yang meningkat menyusul kebijakan tarif tinggi dari AS semakin memperketat kondisi keuangan global. Harga saham anjlok, dan arus modal keluar menyebabkan depresiasi mata uang sejumlah negara terhadap dolar AS.
Merespons situasi tersebut, bank sentral di sejumlah negara utama Asia Timur dan Pasifik termasuk Indonesia, China, Filipina, dan Thailand mengambil langkah pemangkasan suku bunga untuk mendukung pertumbuhan.
Bank Dunia juga mencatat bahwa kebijakan fiskal masih menjadi salah satu alat andalan untuk menstimulasi pertumbuhan. Program belanja sosial dan investasi publik di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam diperkirakan akan memberikan manfaat jangka menengah. Namun, dampak penuh dari hambatan perdagangan yang lebih tinggi tetap sulit diprediksi dan bisa membebani pertumbuhan secara global.
Prediksi Pertumbuhan Global Juga Dipangkas
Kekhawatiran terhadap kondisi global tidak hanya datang dari kawasan Asia. Bank Dunia sebelumnya juga memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,3 persen untuk tahun 2025. Angka ini turun tajam dari prediksi sebelumnya yang sebesar 2,7 persen.
“Ini akan menjadi laju pertumbuhan global paling lambat sejak 2008, kecuali masa resesi global langsung,” ujar Bank Dunia dalam laporan tersebut.
Faktor utama di balik perlambatan ini adalah ketidakpastian perdagangan internasional. Perselisihan tarif dan kebijakan proteksionis telah mengganggu kepastian ekonomi global yang selama ini menopang pengentasan kemiskinan dan kemakmuran pasca-Perang Dunia II, demikian disampaikan oleh Indermit Gill, Senior Vice President dan Chief Economist Bank Dunia.
Bank Dunia juga merevisi turun prediksi pertumbuhan untuk Amerika Serikat menjadi 1,4 persen—turun 0,9 poin persentase dari proyeksi sebelumnya. Sementara zona euro diperkirakan hanya tumbuh 0,7 persen, turun 0,3 poin persentase.
Namun demikian, Bank Dunia mencatat bahwa jika negara-negara utama dapat mencapai kesepakatan perdagangan yang langgeng, prospek pertumbuhan global bisa sedikit membaik. Analisis mereka menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa dagang dengan pengurangan tarif hingga setengahnya dapat meningkatkan pertumbuhan global sebesar 0,2 poin persentase pada 2025 dan 2026.
Negosiasi Dagang Berlangsung
Presiden AS Donald Trump telah memberlakukan tarif tinggi terhadap banyak negara sejak April lalu. Saat ini, negosiasi sedang berlangsung antara AS dan sejumlah mitra dagangnya, termasuk China dan Uni Eropa. Pertemuan antara delegasi AS dan China di London pekan ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan lanjutan menyusul pencabutan sebagian tarif sebelumnya.
Baca juga:
Ubi Gobis, Inovasi Snack Cegah Diabetes dan Tunda Lapar
Negosiasi dengan Uni Eropa juga sedang berlangsung dengan tenggat waktu kurang dari satu bulan sebelum tarif penuh diberlakukan. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pun ikut memangkas prediksi pertumbuhan global, menempatkannya pada level 2,9 persen untuk tahun 2025, turun dari estimasi awal 3,1 persen.
Secara keseluruhan, lanskap ekonomi global tahun 2025 dipenuhi tantangan dari sisi perdagangan internasional, ketegangan geopolitik, tekanan harga, serta ketidakpastian kebijakan domestik di sejumlah negara besar. Indonesia sebagai bagian dari perekonomian berkembang harus terus waspada dan adaptif dalam menghadapi dinamika ini. (nid)