KANAL24, Nias – Siapapun pasti penasaran saat menginjakkan kaki di Pulau Nias, Sumatera Utara.
Pengunjung saat tiba di Bandara Binaka Gunung Sitoli akan langsung bisa melihat Omo hada (rumah adat), Tari baluse (tari perang), dan hombo batu (lompat batu) yang pernah menghiasi mata uang Rupiah.
Ucapan salam sehari-hari warga setempat “Yaahowu” tertulis besar di tengah gambar pejabat daerah, turut mengantarkan pengunjung keluar dari Bandara Binaka menuju desa wisata Bawomataluo.
Butuh beberapa kali hela napas untuk fasih mengucapkan ‘Bawomataluo’ yang dalam bahasa Nias berarti bukit matahari, sesuai dengan letaknya yang dibangun di atas bukit dengan ketinggian 324 meter di atas permukaan laut semenjak berabad-abad lalu.
Untuk menuju desa para pelompat batu itu, butuh waktu 3 jam dari Bandara Binaka di Gunung Sitoli atau 40 menit dati Teluk Dalam ibu kota Kabupaten Nias Selatan.
Desa Bawomataluo ditinggali oleh setidaknya seribu kepala keluarga. Masyarakat di dalamnya sangat memegang teguh nilai adat istiadat dari leluhur. Beragam pusaka budaya yang dulu dimiliki oleh para leluhur masyarakat Nias masih disimpan dan dirawat dengan seksama.
Beberapa di antaranya adalah omo hada alias rumah adat tradisional terbuat dari kayu namun tanpa paku, terdapat situs megalitikum, pelestarian tari-tarian, hingga atraksi lompat batu alias hombo batu. Tidak heran, atraksi-atraksi tersebut menjadi magnet bagi para pelancong untuk singgah di desa di atas bukit ini.
Warga yang tinggal di dalamnya terus melestarikan budaya Bawomataluo secara turun-temurun dari generasi ke generasi, rumah-rumah adat di dalamnya juga diturunkan ke anak cucu.
Begitu memasuki area desa Bawomataluo, umumnya pengunjung didampingi salah satu pemuda desa yang mencari penghasilan hidupnya dengan menjadi pemadu wisata bagi kampung yang dikenal dengan keindahan matahari terbit itu.
“Waktu terbaik untuk foto di desa ini ya pada saat matahari terbit. Nanti kalau ada kesempatan lain, datangnya pukul 5 pagi pak,” kata pemandu wisata Frans.
Selain terkenal dengan atraksi lompat batu, desa ini juga terkenal dengan arsitektural serta patung-patung kuno. Maka umumnya pemandu wisata akan mengajak pengunjung untuk mengelilingi kampung.
Jika beruntung, ada saat ketika upacara adat berlangsung sehingga bisa menyaksikan secara langsung termasuk saat ada salah satu warga yang sedang berduka.
“Di sini juga memiliki tradisi potong babi jika tengah berkabung. Jika ada orang yang meninggal di sini, babinya ikut dipotong juga dan dibagikan ke seluruh warga desa” kata Frans yang menjelaskan ketika itu ada seorang warga yang baru saja meninggal dunia.
Lompat Batu
Setelah asyik mengelilingi kampung dengan rumah adat berbaris rapi dikelilingi lembah itu, tujuan selanjutnya adalah melihat atraski lompat batu.
Frans menceritakan asal mula para pemuda di kampungnya yang berpakaian khas prajurit kerajaan, dengan warna khas Nias, yaitu merah, kuning, dan hitam melompati batu setinggi 2 meter dan tebal 40 cm
“Lompat batu bermula dari syarat pemuda desa sudah bisa ikut berperang atau belum. Dahulu perang antar-wilayah sering terjadi. Setiap wilayah biasanya dipagari dengan bambu setinggi dua meter atau lebih. Untuk bisa ikut berperang dan diterima sebagai prajurit raja, seorang pemuda harus bisa melompati bambu yang memagari wilayah lawan. Selain itu, pemuda yang mampu melompati batu ini dianggap telah dewasa dan matang secara fisik,” kata Frans.
Jika ingin menyaksikan tradisi ini, pengunjung harus membayar dua orang pemuda desa dengan tarif Rp150 ribu untuk dua kali lompatan. Setiap pemuda akan melompat satu kali. Andai ada sekelompok pemuda yang menawarkan tarif lebih tinggi dari itu, lakukan tawar-menawar saja karena memang tarif dari kesepakatan pengurus desa adalah Rp150 ribu.
“Mereka bisa 10 kali sehari melompat, lumayan bagi penghasilan mereka sehari-hari,” kata Frans.
Seperti diketahui saat ini, Pemerintah sedang mengajukan Desa Bawomataluo sebagai salah satu warisan kebudayaan dunia dengan masuknya Desa Bawomataluo dalam daftar situs warisan dunia, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Nias akan terus mengalami peningkatan.
Setelah Desa Bawomataluo menjadi warisan dunia. Secara strategi promosi sangat mudah untuk dipasarkan, dan bisa menjadi salah satu destinasi utama para wisatawan ke Nias selain terkenal dengan ombaknya.
“Saohagolo Ama dan Ina, Dafalakhi sui (Terimakasih banyak Bapak dan Ibu, sampai jumpa lagi),” ucap Frans dalam bahasa Nias. (sdk)