Kanal24 – Malang, Kecanggihan teknologi saja tidak cukup untuk mendorong intensifikasi pertanian. Di samping teknologi, profiling behavioral economy adalah tindakan esensial yang perlu dilakukan untuk mendukung program penyejahteraan petani. Pembahasan ini diungkapkan oleh ahli ekonomi dari University of New England, Prof. Renato Andrin Villano, atau akrab disapa Prof. Rene dalam acara 6th International Conference on Green Agro-industry and Bioeconomy, yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian UB pada Selasa (12/7/2022). Simposium yang bertajuk “Foreground for Advanced Research in Agro-industrial Technology” ini menelaah topik yang meliputi keamanan dan pengamanan pangan; teknik pertanian; teknologi hasil pertanian; pengelolaan dan pengaturan sistem produksi agroindustri; energi terbarukan dan biorefinery; pengelolaan sampah dan lingkungan; bioteknologi pangan dan rekayasa bioproses; mikrobiologi makanan; wanatani dan keanekaragaman hayati; teknologi perikanan dan kelautan; dan bioekonomi di bidang pertanian dan ilmu pangan.
Profiling behavioral economy adalah analisis karakter psikologis dan perilaku seseorang untuk menilai atau memprediksi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan ekonomi. Behavioral profiling dalam konteks ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan terkait pertanian. Pengetahuan tentang faktor-faktor pembentuk perilaku dan psikologis petani ini mengandung potensi yang signifikan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan agrikultur. Titik temu antara behavioral economics dan riset agrikultural memberikan wawasan penting tentang perilaku petani, latar belakang yang mendasari perilaku tersebut, serta dorongan untuk memperbaiki kerangka kerja yang telah ada.
“Hasil analisis perilaku petani ini dapat digunakan untuk memetakan, merancang, dan mengevaluasi intervensi dan atau preferensi gaya belajar petani untuk meningkatkan performa mereka dalam mengadaptasi kebiasaan, cara, alat, dan teknologi baru. Proses mengubah perilaku ini meliputi tindakan mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku destruktif, mengembangkan dan mengadaptasi perilaku yang sesuai, serta membangun praktik-praktik terbaik. Dengan intervensi yang tepat, profit yang dihasilkan petani akan lebih melimpah sehingga kesejahteraannya lebih terjaga” urai Prof. Rene.
Bentuk intervensi yang dimaksud adalah keterlibatan pemerintah dalam berbagai upaya untuk mendukung perubahan behavior petani agar menjadi lebih baik. Menurut Prof. Rene, upaya ini dilakukan dalam empat langkah pokok. Pertama, persuasi atau ajakan agar petani membangkitkan perilaku konstruktif agar dapat meningkatkan profit. Kedua, strategi insentif yang meliputi micro-incentives dan pre-commitment. Micro-incentives mengacu pada pemberian penghargaan kecil yang biasanya berbentuk uang dan dilakukan berulang-ulang atau sering. Sedangkan pre-commitment dalam psikologi artinya sebuah mekanisme pengendalian diri untuk menghindari tindakan impulsif. Ketiga, upaya penyuluhan dan pelatihan dilakukan untuk mensosialisasikan teknologi pertanian yang efektif dan efisien. Terakhir, dukungan sosial berupa organisasi, grup, atau pertemuan sebagai wadah untuk menampung aspirasi dan mempromosikan teknologi kepada para petani kecil.
“Banyak cara untuk melakukan profiling, salah satunya kami turun langsung ke lapangan untuk bertemu dengan para petani. Ketika kita merancang instrumen behavioral-science informed survey instrument, sebenarnya instrumen yang kita gunakan berasal FGD (focus group discussion) dan key-informants. Nah yang kita lakukan adalah mewawancarai key-informants dan menggali elemen kunci dari proses decision-making dalam studi behavioral ini. Dari hasil FGD dan studi key-informants ini, kami memperoleh banyak seri pertanyaan untuk menjawab berbagai aspek dari behavioral dan mengidentifikasi karakteristik dari grup yang sedang diteliti. Setelah data terkumpul, kami lanjut ke proses post-analysis untuk memahami dan mencari jawaban atas pertanyaan; siapa petani ini, apa yang mereka lakukan, bagaimana lingkungan mereka, dimana mereka hidup, dan lain sebagainya,” imbuh Prof. Rene
Jawaban atas pertanyaan tersebut kemudian digunakan untuk merancang intervensi seperti apa yang sesuai untuk mengoptimalkan hasil pertanian. Ketika merancang upaya intervensi, peneliti dan pejabat berkewenangan perlu mempertimbangkan kapabilitas fisik dan psikologis, peluang fisik dan sosial, motivasi otomatis serta motivasi reflektif. Kriteria utama dalam intervensi tersebut harus mencakup keterjangkauan, kepraktisan, keefektifan dan efektivitas biaya, keterimaan, efek samping dan keamanan, serta kesetaraan bagi seluruh sektor. Hal ini patut diperhatikan agar intervensi dapat tepat sasaran.
“Jadi, poin kunci untuk optimalisasi dan intensifikasi pertanian tidak hanya terletak pada sumber daya atau teknologinya saja. Tapi yang paling mendasar justru ada pada sumber daya manusianya,” pungkas Prof. Rene. (riz)