Oleh : Agus Andi Subroto
“JIKA ingin meraih kesuksesan dengan lebih cepat. Anda harus melipatgandakan kegagalan Anda. Kesuksesan berada di ujung kegagalan.”
(Thomas J. Watson)
MELIHAT anak kecil anaknya tetangga samping rumah yang sedang belajar naik sepeda, lucu sekali. Ia terjatuh dari sepedanya lalu menangis, mamanya yang mendampingi di belakangnya sedikit berlari menghampiri untuk menolongnya, “Sakit ya nak, pulang ta?”
“Aku mau naik sepeda lagi, adik udah gak sakit kok.”
Mamanya rada gamang kepada anak tercintanya. Antara kasihan, rasa sayang, serta kekuatiran, berkumpul jadi satu, dalam batinnya, sehingga ia hanya bisa berdiri mandengin melihat dengan kewaspadaan tinggi mendampingi anaknya.
Anak itu langsung berusaha nyengklak menaiki sepedanya kembali, namun baru beberapa kayuhan, sepedanya oleng, ia terjatuh kembali, dan menangis lagi.
Mamanya lansung berteriak njerit berlari sambil tergopoh, menghampiri anaknya kembali. Kata-kata ajakannya sama kepada anaknya,”Gimana nak, sakit, pulang saja ya?” Namun jawaban yang sama terucap lagi dari anaknya,”Aku mau naik sepeda lagi, adik udah gak sakit kok.” Mamanya semakin kelimpungan mikirin anaknya tercinta mungkin sambil membatin,” Ya Allah selamatkan anak saya, dampingilah, karena ia nekat sekali ingin belajar naik sepeda, semoga segera berhasil.” Mungkin saja itu mantra yang dilantunkan oleh sang mama, teruntuk anak kecilnya itu ke langit tertinggi
Peristiwa di atas kulihat terjadi beberapa kali dari emper rumahku. Anaknya yang latihan naik sepeda terjatuh lalu menangis, mamanya berlari berusaha menolongnya, kemudian anaknya bangkit kembali belajar naiki sepedanya lagi, kemudian jatuh lagi, serta menangis lagi. Aku sendiri sampai geli sendiri, kok lucu sekali ya anak itu, sudah jatuh berkali-kali namun masih saja semangat belajar naiki sepedanya lagi, lagi, dan lagi.
Meski mamanya si anak kecil tersebut, di depan rumahnya sambil berdiri, semakin deras merapal mantra terindah buat anak tercintanya. Mamanya sendiri dibuat terpana dengan sikap pantang menyerah dari anaknya. “Tiru sopo anakku iki,” ujar batin mamanya yang lain.
Dari warung kopi langganan yang berada di karang menjangan Surabaya. Kupanggil kembali kejadian yang telah kusaksikan pagi tadi sekitaran jam 7 pagi di depan rumahku. Apa yang telah kutuliskan di dalam kepala saat melihat kejadian tadi, sekarang ingin kupindah tulisannya ke dalam gawai, dan akan saya bagikan kepada Anda semua tulisannya, sambil menikmati kopi, juga tunggu waktu saatnya nanti jam 11 jemput istri dari kantornya.
Anak kecil tersebut ku lihat jatuh tiga kali saat belajar naik sepeda tadi. Terjadi gradasi dalam proses jatuhnya. Jatuhnya yang pertama sedikit nyungsep, lututnya sedikit tergores, untung wajahnya aman-aman saja tidak terluka. Jatuhnya kedua lebih enak, tidak terasa sakit, hanya pantatnya anak tersebut nyenggol ke aspal gedebug, lalu nangis, cepat berdiri lagi. Jatuhnya ketiga sedikit dramatis meski menangis sambil sedikit meringis, lalu bilang ke mamanya, “Maaa, adik udah mulai bisa naiki sepedanya,” bilangnya anak itu dengan semangat ke mamanya.
“Mamanya dengan girang sambil acungkan dua jempol tangannya,” kepada anak lelaki tercintanya.
Saya yakin sekali hari selanjutnya, anak itu paling sudah bisa naiki sepedanya dengan baik. Dan mamanya tidak perlu was-was senam jantung, dampinginya lagi. Dan aku tentu sudah tidak bisa akan bisa melihat kelucuan yang alami kembali, saat anak tersebut menangis sambil meringis menahan sakitnya. Karena anak tersebut telah ahli dibidangnya menjadi seorang goweser kecil.
Anak tetangga yang lucu dan imut itu telah memberi teladan nyata. Ia mampu melipatgandakan kegagalannya dalam belajar naik sepeda. Sehingga yang tersisa hanyalah keberhasilannya.
Kehidupan yang dicontohkan anak kecil tadi, adalah kehidupan NYATA yang layak di tiru orang dewasa. Karena acapkali yang dewasa malu menangis dan menertawai dirinya sendiri saat menerima kegagalan. Inginnya instan saja. Malu kan, sama anak kecil tersebut.
Sepertinya kita semua yang hari ini telah memiliki status sebagai seorang yang dewasa. Telah lupa untuk menjadi anak kecil kembali. Yang selalu berani mencoba sesuatu hal yang baru, kemudian gagal, lalu bangkit kembali, sambil meringis kesakitan dan tertawa riang.(*)
Penulis Agus Andi Subroto kandidat doktor di FEB UB dan praktisi manajemen embongan