Kanal24, Malang – Rentetan banjir besar, longsor, dan kerusakan infrastruktur yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra dalam beberapa hari terakhir kembali menegaskan betapa rapuhnya sistem mitigasi bencana di Indonesia. Bencana yang terjadi di Sumatra Utara, Aceh, hingga Sumatra Barat bukan sekadar akibat hujan ekstrem yang mengguyur tanpa henti. Data analisis cuaca yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan adanya aktivitas sistem cuaca skala besar berupa bibit topan yang bergerak dari wilayah Malaysia dan menurunkan intensitas hujan sangat tinggi di beberapa provinsi. Fenomena ini memang termasuk kejadian alam yang secara meteorologis dapat diprediksiādan faktanya sudah diprediksi. Sejak 22ā25 November, BMKG telah mengeluarkan peringatan dini kepada pemerintah daerah mengenai potensi hujan ekstrem dan peningkatan risiko banjir.
Namun, sebagaimana sering terjadi, peringatan sains tidak cukup kuat untuk mendorong langkah cepat di tingkat kebijakan. Pakar Geofisika Universitas Brawijaya, Prof. Drs. Ir. Adi Susilo, M.Si., Ph.D, menegaskan bahwa bencana hidrometeorologi jarang disebabkan oleh satu faktor saja. Menurutnya, tidak tepat jika banjir di Sumatra disebut sebagai ābencana alam murniā. Dalam kajian ilmiah, bencana hampir selalu merupakan kombinasi antara fenomena alam dan kerentanan buatan manusia.
āKita tidak bisa menggeneralisasi bahwa ini murni karena hujan. Semua kejadian bencana adalah campuranāada faktor cuaca, ada campur tangan manusia, dan ada kelalaian sistem,ā ujarnya.
Pernyataan Prof. Adi selaras dengan data lapangan yang menunjukkan masifnya deforestasi dan alih fungsi lahan di sejumlah wilayah hulu sungai di Sumatra. Banyak kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan kini berubah menjadi areal perkebunan, pemukiman, hingga tambang skala kecil. Dalam kondisi normal, daerah resapan berfungsi menyerap air dan menahan limpasan. Ketika penyangga ekologis hilang, curah hujan ekstrem yang seharusnya bisa diredam justru berubah menjadi banjir bandang. Prof. Adi mengingatkan bahwa bukti-bukti kerusakan lahan kini sangat mudah ditelusuri.
āSemua data ada di satelit. Tidak bisa lagi kita mengelak, membantah, atau mengatakan pohon tumbang sendiri. Deforestasi itu nyata,ā tegasnya.
Selain kerusakan lingkungan, pelanggaran tata ruang juga memperparah dampak bencana. Sungai sebagai ruang hidup alamiah memiliki hak untuk meluap ketika volume air meningkat. Namun, aturan yang melarang pembangunan hunian dalam radius 10 meter dari bantaran sungai kerap diabaikan. Rumah-rumah dibangun terlalu dekat dengan aliran air, bahkan sebagian berdiri di atas tanah yang secara hukum merupakan kawasan lindung sungai. Prof. Adi menegaskan bahwa risiko banjir seharusnya sudah dipahami sejak lama.
āKiri kanan sungai 10 meter itu tidak boleh ditempati. Itu miliknya sungai, bukan miliknya manusia. Jika terendam, ya memang itu haknya sungai,ā ujarnya.
Di sisi lain, Prof. Adi menyoroti lambatnya respons pemerintah daerah terhadap peringatan dini BMKG. Padahal, akurasi analisis cuaca BMKG saat ini sudah didukung teknologi integrasi data satelit, radar cuaca, hingga model prediksi numerik yang terus diperbarui. Ia mengaku menaruh kepercayaan sangat tinggi pada prediksi BMKG, dan karena itu pemerintah daerah seharusnya dapat mengambil langkah mitigasi lebih awal.
āJika sudah ada prediksi BMKG. Kalau sudah ada peringatan, mestinya kita siap. Pemerintah daerah seharusnya tidak kaget,ā tuturnya.
Melihat konteks ini, Prof. Adi menekankan pentingnya pengambilan keputusan berbasis sains. Kebijakan mitigasi tidak boleh hanya mengandalkan intuisi, kebiasaan lama, atau pendekatan reaktif. Semua keputusan, kata Prof. Adi, harus bertumpu pada riset, data, dan rekomendasi ilmiah dari lembaga-lembaga berwenang.
āPemerintah dalam hal ini mengambil keputusan itu berdasarkanlah dengan sains dengan ilmu jangan berdasarkan dengan pengalaman. Semua sudah ada datanya. BMKG, akademisi, lembaga penelitianāitu semua harus menjadi rujukan,ā ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kerja kolaboratif dalam skema pentahhelix yang melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media. Lima unsur ini harus saling menguatkan untuk menciptakan pemahaman publik, meningkatkan kesiapsiagaan, dan mendorong pemerintah menjalankan kebijakan mitigasi secara konsisten.
āJangan sampai masyarakat selalu menjadi korban tetapi tetap menyalahkan pihak lain. Kita semua punya peran,ā tambahnya.
Bencana Sumatra adalah peringatan keras bahwa perubahan iklim global memperbesar intensitas cuaca ekstrem, namun dampak buruknya sangat ditentukan oleh kesiapan manusia. Banjir dan longsor tidak akan berhenti terjadi, tetapi kerusakannya dapat diminimalkan jika sains dijadikan dasar kebijakan dan tata ruang dipatuhi secara serius. Sebagaimana disampaikan Prof. Adi, peringatan sains sudah adaāyang kurang adalah kemauan untuk mendengarkan.(Din)









