Kanal24, Malang – Polemik pengibaran bendera bergambar tengkorak khas animasi One Piece menjadi sorotan publik belakangan ini. Aksi tersebut menuai pro-kontra, terutama di ruang digital, setelah viralnya sejumlah warga yang mengibarkan atau mengecat simbol bajak laut ala anime tersebut di sejumlah tempat umum.
Sebagian pihak menyebut tindakan itu tidak pantas, bahkan melanggar hukum. Namun, banyak pula yang menilai pengibaran simbol One Piece merupakan bentuk ekspresi personal yang tidak berbahaya. Di tengah kontroversi ini, penting untuk merujuk pada pendapat pakar yang memahami dimensi hukum dan hak asasi manusia.
Ekspresi Kebebasan yang Dilindungi Konstitusi
Menanggapi isu tersebut, Dr. Muktiono, S.H., M.Phil, Dosen Hukum dan HAM sekaligus Ketua Umum Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, memberikan pandangan hukum yang menyejukkan. Ia menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece merupakan bentuk ekspresi individu yang sah secara hukum.
“Tindakan tersebut menurut saya bagian dari tindakan untuk mencari kesenangan (pursuing happiness) yang merupakan bagian dari hak asasi seseorang,” jelas Muktiono.
Ia juga membuka kemungkinan bahwa aksi ini merupakan bentuk protes atau sindiran terhadap situasi tertentu, yang menurutnya adalah hal lumrah dalam masyarakat demokratis, selama tidak melanggar hukum atau mengganggu hak orang lain.

Tidak Bertentangan dengan UU Simbol Negara
Secara normatif, Muktiono merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Menurutnya, tidak ada pasal dalam undang-undang tersebut yang melarang pengibaran simbol non-negara seperti One Piece, selama tidak mengandung pelecehan langsung terhadap lambang negara.
“Saya kira negara terlalu bersikap atau bertindak berlebihan, dengan melarang atau mengkriminalisasi pengibaran bendera atau pengecatan lambang One Piece jika tidak ada kebutuhan mendesak yang didasarkan pada ancaman yang nyata,” tegasnya.
Prioritaskan Hal yang Lebih Esensial
Dr. Muktiono mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap hal-hal simbolik semacam ini justru bisa mengalihkan perhatian negara dari isu-isu yang lebih penting dan mendesak.
“Seharusnya negara fokus menyelesaikan masalah esensial, seperti pemberantasan korupsi, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, mengejar ketertinggalan teknologi, penyediaan lapangan kerja dan upah layak, serta pemerataan pendidikan,” pungkasnya.
Pernyataan ini sekaligus menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan kebebasan sipil. Dalam konteks demokrasi, simbol dan ekspresi budaya populer semestinya dipahami secara proporsional, bukan dijadikan objek kriminalisasi.(Din)