Sesaat sampai di Madinah dalam perjalanan hijrah Rasulullah saw segera diterima dengan sangat ceria penuh kebahagiaan oleh masyarakat local Yatsrib yang kemudian dikenal dengan Anshar yaitu mereka yang rela hati bersedia menolong dan membantu kaum muslimin yang berhijrah dari makkah (muhajirin) yang mereka telah beriman terlebih dahulu dan berbaiat kepada Rasulullah pada gelombang baiat pertama (baiah aqabah) sebanyak 12 orang saat pelaksanaan haji dan pada musim haji berikutnya sebanyak 73 pria dan 2 wanita, dan karena keramahan serta kebaikan penduduknya sehingga memudahkan perkembangan Islam di sana, maka nama Yatrib dirubah oleh Nabi dengan nama Madinah al Munawwarah.
Sesampainya di wilayah Madinah tepatnya di daerah Quba, 5 kilometer dari kota madinah, setelah melalui selama 16 hari perjalanan darat dari kota Makkah, Rasulullah saw bersama sahabatnya dan para sahabat lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang menyambutnya maka Rasulullah segera membangun masjid yang diberi nama masjid quba. Dan Rasulullah tinggal di Quba selama 4 hari di rumah Kultsum bin al-Hadam bin Amr al-Qais, dan milik beliau pulalah tanah yang dipakai untuk pembangunan masjid Quba tersebut. Masjid ini didirikan pada tahun 1 Hijriyah atau sekitar 622 M. Dan baru kemudian pada hari yang ke 20 Rasulullah tiba di kota madinah untuk melaksanakan shalat jumat dan kemudian pada hari yang ke 30 Rasulullah berpindah dari masjid Quba ke Madinah.
Demikianlah dalam catatan sejarah bahwa langkah pertama yang dilakukan oleh nabi sesampainya di madinah adalah mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan berkumpul. Semenjak awal masjid telah menjadi sentra kekuatan ummat hingga masjid menjadi solusi atas berbagai persoalan ummat. Bahkan masjid Rasulullah saat itu berfungsi sebagai asrama para ahlu suffah yang belajar dan mendalami ilmu kepada Rasulullah hingga mampu menampung 300-400 orang sahabat. Demikian pula pada masa itu masjid Nabi menjadi tempat perdamaian untuk menyelesaikan sengketa, menerima utusan atau tamu, sebagai tempat untuk berdakwah, tempat untuk amal sosial santunan, tempat latihan perang, tempat berlindung pada saat perang. Artinya masjid pada masa nabi benar-benar mampu menjadi center of activity dari seluruh kehidupan.
Pertanyaannya, apakah masjid-masjid kita telah mampu menjadi tempat rujukan bagi ummat untuk menyelesaikan masalah disaat mereka sedang menghadapi berbagai persoalan kehidupannya. Misal disaat seseorang sedang punya masalah ekonomi, Termasuk disaat mereka sedang membutuhkan pekerjaan agar dapat menghidupi keluarganya, apakah masjid hadir sebagai solusi bagi mereka? . Disaat ummat sedang menghadapi persoalan hukum, apakah masjid mampu memberikan solusi untuk memberikan pendampingan hukum. Disaat ummat sedang mengalami konflik dengan yang lain, apakah masjid hadir sebagai mediator. Disaat ummat sedang ada masalah keluarga, apakah masjid mampu menjadi lembaga konsultasi penyelesaian masalah. Maka, memang sudah selayaknya masjid mampu menjadi solusi bagi berbagai kompleksitas persoalan tadi.
Masjid sebagai solusi, tentu membutuhkan pengelolaan yang profesional untuk memastikan kualitas manejemennya adalah yang terbaik. Takmir masjid perlu memastikan siklus manajemen untuk peningkatan proses berkesinambungan terus terjaga, melalui mekanisme Plan, Do, Check, Act atau ada yang menambahkannya dengan observe (OPDCA) sebelum melakukan plan atas rancangan kegiatan masjid yaitu dengan terlebih dahulu menjadikan masjid sebagai pusat data ummat setidaknya atas segala apapun informasi tentang berbagai hal yang dibutuhkan bagi upaya menyusun kegiatan guna memberikan solusi bagi ummat di sekitar. Semisal data potensi sosial ekonomi ummat secara detail, potensi politik berupa data key person, orang-orang yang berpengaruh dengan segala potensi keahlian dan kemampuan personalnya. Data base ini sangat dibutuhkan sebagai informasi penting dalam melakukan gerakan pemberdayaan ummat dan program dakwah selanjutnya.
Masjid haruslah hadir dalam berbagai persoalan umat sehingga masjid ada di hati ummat. Dengan keberadaan masjid maka ekonomi umat bergerak, karena masjid memberikan ruang fasilitasi bagi umat untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi dengan mengoptimalkan potensi jamaah sebagai implementasi atas proses pembinaan yang dilakukan selama ini, bahwa berjamaah tidak hanya dipahami sekedar aktivitas ibadah mahdhah saja, namun berjamaah harus pula mampu membangun keterikatan dan kedekatan ekonomi. Merapatkan shaf ekonomi adalah salah satu kekuatan yang sangat dibutuhkan oleh umat. Demikian pula masjid perlu menyediakan ruang-ruang konsultasi kesehatan dan mampu menjadi pusat kesehatan masyarakat berbasis jamaah. Demikian pula perlu ruang-ruang konsultasi sosial keumatan, hukum dan fiqih. Termasuk sebagai pusat pengembangan kreativitas remaja dan masyaraka, serta tentu masjid sebagai pusat pendidikan dan pembinaan umat yang dikelola dengan sistem dan manajemen yang profesional berbasis teknologi terbaru yang sedang berkembang sehingga lebih memudahkan proses pelayanan.
Profesionalisme pengelolaan masjid menjadi kunci utama dalam melakukan pemberdayaan dan pengembangan serta peningkatan kualitas hidup masyarakat karena masjid tidak lagi hanya berfungsi sebagai tempat ibadah ritual namun juga berfungsi sebagai implementasi ibadah sosial dan ekonomi masyarakat. Kemudian untuk selanjutnya berbagai kekuatan potensi ini dapat disinergikan antar masjid sehingga upaya sharing kebaikan dapat dilakukan dan mampu mempeecepat proses terwujudnya realitas masyarakat yang mandiri, berkualitas dan sejahtera. Disinilah semua upaya terwujudnya qaryah (kampung) thayyibah haruslah bermula dari masjid.
Semoga Allah swt menjadikan diri kita dan ummat ini selalu merasa terhubung hati dengan masjid hingga kebaikannya dapat merefleksi dalam kehidupan nyata keseharian. Semoga Allah selalu membimbing kita dijalan ridhoNya. Aamiiinn…