KANAL24, Jakarta – Bank Indonesia (BI) menegaskan tidak akan memenuhi tuntutan dari berbagai pihak khususnya DPR RI yang ingin BI mencetak uang sendiri untuk membiayai penangangan wabah corona. Uang tersebut termasuk untuk mendanai pemulihan perekonomian nasional.
Hal itu karena tugas pokok dan fungsi BI adalah melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dan juga menjaga tingkat inflasi. Apabila dipaksa melakukan pencetakan uang dalam skala yang besar tanpa melalui mekanisme yang berlaku merupakan hal yang tidak lazim.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan bahwa BI tidak bisa langsung mengedarkan uang secara langsung kepada masyarakat sebab fungsi ini hanya bisa dilakukan oleh lembaga pembiayaan atau pemerintah. Fungsi BI murni untuk stabilisasi moneter sehingga setiap kebutuhan uang yang beredar harus atas koordinasi dengan Kementerian Keuangan. Menurut Perry usulan dari berbagai pihak agar BI segera melakukan pencetakan uang saat ini sangat menyesatkan masyarakat dan bahkan membuat publik bingung.
“Cetak uang itu tidak sejalan dengan praktik kebijakan moneter yang prudent. Jadi supaya tidak menambah kebingungan masyarakat, maka masyarakat harus kita berikan pemahaman. Pandangan itu bukan kebijakan moneter yang lazim dilakukan Bank Central dan itu tidak akan dilakukan BI,” kata Perry dalam pers breafing secara virtual, Rabu (6/5/2020).
Dijelaskannya peran yang bisa dilakukan BI untuk membantu memenuhi kebutuhan uang di tengah kebutuhan masyarakat yang meningkat akibat pandemi wabah corona adalah dengan mengucurkan likuiditas atau quantitative easing dan juga operasi moneter. BI baru akan melakukan pencetakan uang ketika ada kesepakatan dengan Kementerian Keuangan dan di saat likuiditas sudah tidak mampu memenuhi. Namun dalam hal pencetakan sendiri harus memenuhi kaidah dan ketentuan yang berlaku sesuai dengan perundang-undangan.
Perry menambahkan hingga awal Mei 2020 ini injeksi likuiditas yang telah dilakukan BI kepada perbankan sudah mencapai Rp503,8 triliun. Jumlah ini terdiri dari Rp386 triliun yang dikucurkan pada periode Januari – April 2020 dan tambahan sebesar Rp117,8 triliun yang dilakukan pada Mei 2020. Secara detail injeksi likuiditas yang mencapai Rp386 triliun ini dikucurkan melalui transmisi pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder senilai Rp166,2 triliun, term repo perbankan sebesar Rp137,1 triliun, FX Swap sebesar Rp29,7 triliun dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah periode Januari – April 2020 sebesar Rp53 triliun.
Sedangkan quantitative easing yang dilakukan pada awal Mei 2020 dengan nilai Rp117,8 triliun tersebut terdiri ditransmisikan melalui penurunan GWM sebesar Rp102 triliun. Kemudian tidak mengenakan kewajiban tambahan giro bagi yang tidak memenuhi RIM (rasio intermediasi makroprudensial) sebesar Rp15,8 triliun. Dengan intervensi BI yang sudah mengucurkan likuiditas besar tersebut maka tidak ada alasan pembenaran bagi BI untuk melakukan pencetakan uang seperti yang diminta oleh beberapa pihak.
“Dalam kondisi seperti ini yang paling efektif adalah menyediakan likuiditas, kami akan dukung pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran likuiditas. Jadi silahkan gunakan dulu yang dikucurkan itu melalui perbankan untuk ke sektor riil. Kalau kurang mari itung – itungan, kalau perlu nambah akan kita tambah,” pungkas Perry.(sdk)