Suatu hari Abuya sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki mendapatkan laporan tentang sebuah buku yang isinya menjelek-jelekkan dan mencaci abuya. Mendengar laporan demikian, segera abuya memerintahkan kepada santrinya untuk mengeluarkan mobil dan diminta mengantar abuya. Si santri kemudian bersegera memenuhi perintah abuya, seraya bertanya hendak kemana gerangan akan diantar abuya seraya terlihat abuya juga sedang membawa sebuah tas berisi uang yang sangat banyak. Sejenak kemudian abuya menjawab, “kita akan ke madinah, menemui penulis buku tersebut”. Sesampainya di Madinah, abuya mencari alamat yang dimaksud. Setelah di depan rumah tujuan, abunya mengetuk pintu dan si empuya rumah keluar. Kemudian abuya bertanya,”benarkah ini rumah fulan bin fulan yang menulis buku berjudul ini? “. Si empunya rumah menjawab, “benar”. Seketika abuya memberikan tas yang berisi sejumlah uang yang sangat banyak terhadap orang tersebut tanpa sedikitpun bicara dan langsung pamit pulang. Sejenak si empu rumah yang juga seorang penulis buku yang menjelek-jelekkan dan mencaci abuya, segera tersadar. Seketika dia bertanya, “Engkau pasti sayyid Muhammad bin Alawi itu. Karena tidak ada orang yang bersikap mulia seperti ini kecuali dia adalah seorang sayyid keturunan Nabi”.
Kisah serupa juga terjadi pada diri Habib Umar bin Hafidz dikala ada seorang santri yang melaporkan bahwa dirinya dijelek-jelekkan oleh seseorang. Maka seketika sang habib marah atas sang santri hingga dalam beberapa hari berlalu didiamkan oleh Habib. Hingga hari ke tujuh Sang murid menangis di hadapan habib, “Wahai habib… Sungguh aku menyesal berkata demikian tentang syekh fulan. Hal itu aku lakukan karna hati ku sakit. Aku marah jika engkau di fitnah dan tuduh tanpa bukti. Engkau dituduh sesat, bid’ah dan lain-lain. Semua kalimat yg tak pantas untuk aku ucapkan.” Habib Umar pun menyalaminya dan mendoakannya, “barakallahh fii umrik… biarkan mereka berkata demikian, jaga hati kamu, jadikan hati mu senantiasa bersujud kepada Allah, orang berkata ini dan itu, biarkan saja. Pun tidak mengurangi satu hari pun umur kita, tidak mengurangi apa-apa yang kita miliki tidak mengurangi sebagian pun dari anggota badan kita. Biarkan saja, aku sudah memaafkannya, Semoga allah memaafkan dia juga. Tapi untuk hak ku. Aku Telah memaafkan mereka.”
Demikianlah kemuliaan akhlaq seseorang manakala dicaci, dijelek-jelekkan, difitnah dan di dhalimi. Yaitu membalas keburukan dengan kebaikan. Namun perilaku yang demikian amatlah sangat sulit dilakukan kecuali seseorang yang telah mencapai tingkat kesabaran yang puncak. Demikianlah yang Firmankan oleh Allah swt :
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ . وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Melalui jalan kesabaran bukanlah perkara mudah, karena dibutuhkan keyakinan yang utuh bahwa dibalik cacian, hinaan, fitnah, kedhaliman ada ampunan atas segala dosa yang diperbuatnya di masa lalu serta mendapatkan derajat yang tinggi bagi orang diperlakukan demikian.
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy Syuura: 40).
Rasulullah saw menegaskan kemuliaan sikap memaafkan ini dengan sabdany :
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang hamba yang bersikap pemaaf.” (HR. Muslim)
Kesabaran atas tindakan yang menyakitkan pada diri kita maka hal itu akan berbalas ampunan dan kemuliaan dari Allah swt jika kita sadar dan mengetahuinya. Rasulullah bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ، وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ، وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidaklah seorang Muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan, termasuk duri yang menusuknya, melainkan Allâh akan menghapus sebagian dari kesalahan-kesalahannya. (HR. Bukhari).
Tidak ada satupun yang sia-sia dari setiap apapun peristiwa yang menimpa pada diri seseorang kecuali Allah swt sedang menitipkan hikmah atas peristiwa yang terjadi. Salah satunya adalah apabila peristiwa yang menyakitkan itu dilaluinya dengan penuh kesabaran dan kepasrahan (tawakkal) pada Nya maka pastilah Allah swt memberikan balasan berupa ampunan dan derajat yang tinggi. Untuk itu bersikap “tuli dan buta” atas peristiwa yang menimpa diri kita dengan maksud tidak peduli lagi dengan cacian dan fitnah kedhaliman, kemudian mengembalikannya kepada Allah seraya semakin mendekatkan diri kepada-Nya maka pastilah Allah swt tidak akan tinggal diam, ada balasan kemuliaan pada pelaku kesabaran, ketawakkalan dan pemaafan.
Semoga Allah swt memberikan kesabaran, jiwa pemaafan dan ketawakkalan yang tinggi pada Allah swt. Semoga Allah memberikan balasan terbaiknya berupa ampunan dan jalan ridhoNya. Aamiiin..