KANAL24, Malang – Saat ini dunia menghadapi pandemi global Covid-19, tidak ada satupun negara yang siap termasuk negara yang maju sekalipun dikarenakan vaksin yang belum ada dan sekarang masih dalam tahap penelitian. Menurut penjelasan dr. Mahsun Muhammad, M.K.K (Kepala Bagian Manajemen Mutu PT. Bio Farma), vaksin adalah produk biologi atau zat aktif antigen dibuat dari bakteri atau virus yang sudah dilemahkan atau dimatikan, kemudian diambil komponen toksinnya lalu di inaktifasi menjadi toksoit sehingga aman dan bermanfaat untuk merangsang timbulnya kekebalan dan memori sel tetap masih bisa didapatkan.
Sehingga, ketika vaksin dimasukkan ke tubuh, akan timbul kekebalan, semakin aktif dan siap apabila sewaktu-waktu virus masuk ke dalam tubuh.
“Di tengah pandemi Covid-19 ini, upaya yang telah dilakukan Bio Farma sesuai tugas perusahaan, adalah melakukan penelitian. Penelitian terkait vaksin ini dilakukan di dalam maupun di luar negeri, kita terus pantau mana yang lebih cepat,” terangnya, saat menjadi narasumber di Diskusi Daring IKA UB Forum, minggu (26/4/2020).
Alumni FK UB itu melanjutkan, untuk di dalam negeri telah dilakukan koordinasi dan kerjasama membentuk konsorsium dengan beberapa Perguruan Tinggi, Kemenristek/BRIN, Litbangkes dan Lembaga Biologi Molekuler Eijk Man. Kemudian, koordinasi luar negeri dilakukan dengan negara-negara sahabat, dengan tetap dilihat kolaborasi mana yang hasilnya lebih cepat.
“Kita harus mendapatkan seed vaksin, untuk yang dari luar negeri skala laboratorium, kelihatannya sudah didapatkan seed vaksinnya. Tapi tetap kita cross check di Bio Farma. Diharapkan di 2020 ini bisa dilakukan uji klinis dan kalau semua sesuai, kita harap di 2021 sudah bisa diproduksi dalam skala industri. Tapi ini kita pantau terus perkembangannnya, yang perlu diketahui pembuatan vaksin ini semua prosesnya fast track yang tentunya terus berkoordinasi dengan BPOM,” jelasnya.
Selain itu, Bio Farma juga sedang melalukan penelitian bersama RSPAD Gatot Subroto dan LBM Eijk Man tentang plasma convalescent yang dapat digunakan sebagai terapi pada pasien Covid-19. Plasma ini diambil dari pasien-pasien yang sudah sembuh. Tetapi, ada banyak protokol yang harus dipenuhi, seperti lolos komite etik, persetujuan pasien, protokol pengambilan sampelnya juga harus dilakukan. Selain itu, pasien juga harus dipastikan tidak ada gejala klinis, sehat dan hasil tes PCR negatif 2 kali berturut-turut. Pasien covid yang diambil plasmanya, harus dipastikan tidak menggunakan ventilator saat dirawat dan tidak memiliki penyakit menular lain. Koordinasi juga dilakukan dengan Kementerian Kesehatan RI.

Terkait penggunaan plasma ini, Prof. Widodo yang merupakan Pakar Biomolekuler Universitas Brawijaya juga memberikan penjelasaannya. Berdasarkan penelitian dari PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America), terapi plasma ini diambil dari pasien yang sudah sembuh dari infeksi virus. Ketika seseorang terinfeksi virus, maka ia akan mengeluarkan antibodi, antibodi yang ada dalam tubuh mengalir di darah. Kemudian plasma ini ditransfer ke pasien lain.
“Hasil penelitian di China, dari 10 pasien menunjukkan sebagian besar mendapatkan impact yang positif, antibodinya meningkat, jumlah virusnya berkurang, hampir semua mengalami perbaikan dari segi klinis. Jadi, memang ada potensi besar, cuma untuk melakukan terapi ini tidak mudah, ada beberapa parameter lain yang perlu diingat,” imbuhnya.
Dari segi keamanan, seseorang yang diambil plasmanya harus benar-benar dipastikan tidak terinfeksi virus apapun ataupun penyakit tertentu. Plasma ini tidak bisa diberikan ke pasien dalam jumlah banyak, karena jumlah volum darah juga terbatas. Selain itu, tingkat antibodi masing-masing orang berbeda, sehingga kalau tidak diukur dengan baik, bisa jadi gagal.(meg)