Kanal24, Malang – Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengungkapkan bahwa pergerakan nilai tukar Dolar AS terhadap Rupiah dapat memengaruhi tingkat inflasi di Indonesia. BPS menyoroti bahwa inflasi terutama dipengaruhi oleh barang-barang impor, yang disebut sebagai “imported inflation.”
Pada konferensi pers yang digelar di kantor BPS di Jakarta pada Rabu (1/11/2023), Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menyatakan, “Efek melemahnya rupiah ini bisa cepat, namun juga bisa melambat.”
Pudji menjelaskan bahwa “imported inflation” dapat diamati melalui indikator inflasi komponen inti. Pada bulan Oktober 2023, inflasi komponen inti mencapai 0,08%. Salah satu komoditas yang memberikan kontribusi besar terhadap inflasi komponen inti adalah emas perhiasan.
Inflasi komponen inti tersebut pada gilirannya berdampak pada tingkat inflasi secara keseluruhan pada bulan Oktober, yang mencapai 0,17%, menurut BPS.
Pudji menambahkan bahwa “imported inflation” juga tercermin dalam komoditas yang diimpor secara langsung atau sebagai bahan baku. Beberapa contoh komoditas tersebut meliputi bawang putih, mobil, mie kering instan, roti, tahu, dan tempe. Di antara komoditas makanan, tahu dan tempe memiliki potensi menjadi pemicu “imported inflation” karena bahan bakunya sangat bergantung pada impor.
Pudji menekankan bahwa inflasi yang disebabkan oleh barang-barang impor ini harus dipantau dengan cermat dalam bulan-bulan mendatang. Meskipun demikian, BPS mencatat bahwa Bank Indonesia telah mengambil tindakan pencegahan dengan menaikkan suku bunga acuan pada Oktober 2023 menjadi 6%.
“Kenaikan suku bunga diharapkan dapat membantu mengendalikan permintaan terhadap komoditas dengan komponen impor yang signifikan,”ungkapnya.
Perkembangan nilai tukar Dolar AS terhadap Rupiah tetap menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia dan tingkat inflasinya.