KANAL24, Jakarta – Pertumbuhan digital economy akhir-akhir ini menjadi perhatian banyak pihak. Hampir semua layanan perbankan dan industri keuangan terus berlomba-lomba memberikan layanan secara digital dengan alasan kemudahan, efisiensi serta kenyamanan pelangganya dalam bertransaksi.
Namun dibalik layanan yang serba digital itu terdapat ancaman cyber dimana hingga kini belum menjadi concern yang penting bagi pengelola lembaga keuangan dan juga lembaga publik di Indonesia.
Data dari Badan Siber dan Sandi Negara ( BSSN ) jumlah serangan siber sepanjang Januari sampai September 2021 mencapai lebih dari 927 juta. Dari angka itu sektor keuangan adalah sektor kedua tertinggi yang mengalami serangan siber setelah sektor pemerintahan. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keamanan transaksi dan data nasabah di industri keuangan.
Direktur Kemanan Siber dan Sandi Keuangan, Perdagangan, dan Parawisata BSSN , Edit Prima mengatakan bahwa ruang siber di Indonesia ada tiga lapisan. Lapisan pertama yaitu lapisan fisik, lapisan kedua lapisan teknis, lapisan ketiga adalah lapisan sosial. Hingga bulan September lalu terdapat sebanyak 927 juta serangan siber ke Indonesia, terbanyak adalah serangan malware, DDOS , trojan.
“Nantinya akan ransomware akan jadi serangan yang paling banyak,” kata Prima, Senin (27/9/2021)).
Menurut Prima hingga saat in industri keuangan merupakan sektor yang paling sering terkena serangan siber sejalan dengan masifnya transformai digital sektor perbankan. Sepanjang tahun lalu, insiden siber di sektor tersebut adalah serangan dalam bentuk malware, phisng, pencurian data, DDOS, skimming dan lainnya.
Kejahatan siber yang menimpa perbankan antara lain penipuan dan juga aksi ilegal berupa peretasan. Berdasarkan data kepolisian pada 2017 terdapat 1.430 aksi penipuan onliner dan 153 aksi ilegal. Kemudian tahun 2018 jumlahnya meningkat sebesar 1.781. Tahun 2019 sebanyak 1.617 dan 248. Kemudian pada tahun 2020 sebesar 1.319 dan 303. Pada tahun ini sampai semester pertama lalu, jumlahnya 508 penipuan online dan 167 peretasan.
“Sasaran kejahatannya adalah data nasabah, infrastruktur TI dari lembaga dan juga cyber fraud,” pungkas dia.(sdk)