Kanal24, Malang – Hubungan Internasional (HI) juga perlu dilihat dari negaranya sendiri, bukan dari negara-negara asing. Hal ini melandasi Yusli Effendi menulis buku berjudul “Hubungan Internasional Indonesia” yang diterbitkan oleh Intrans Publishing. Buku seri ke-2 ini dibedah langsung oleh Dosen Ilmu Hubungan Internasional UB, Muhammad Riza Hanafi.
Perwakilan Intrans Publishing, Wawan S. Fauzi menyampaikan bahwa buku yang dibedah kali ini merupakan buku kedua yang diterbitkan oleh Intrans Publishing.
“Yang pertama itu buku Metodologi Ilmu Hubungan Internasional, terbit tahun 2014. Sebenarnya ini adalah seri buku ketiga. Buku yang kami terbitkan pada 2014 kemarin lebih banyak membincangkan soal metodologis,” terang Wawan.
Wawan juga menyampaikan beberapa alasan terkait adanya kelanjutan dari buku HI dari yang sebelumnya. Buku “Ilmu Hubungan Internasional Indonesia” terbaru yang baru terbit 2022 ini lebih banyak memberikan sudut pandang, bahwa pengenalan HI tidak melulu dari kacamata barat, tetapi juga dari perspektif negaranya sendiri.
Pada bedah buku yang digelar secara hybrid, sebagai penulis, Yusli Effendi, menguatkan apa yang disampaikan Wawan, bahwa memang harus ada kesetaraan, ekuivalen, dan rekognisi mengenai peluang melihat HI dari ruang dan lini yang berbeda. Jadi tidak selalu melalui teori-teori yang didominasi oleh Barat maupun Amerika.
“Ini menjadi penting, karena apa yang ada di Barat sebetulnya tidak selalu sesuai kita gunakan,” tegas Yusli.
Yusli juga mengungkapkan melalui perkataan David Kang tentang ketidaksanggupan cara-cara Barat atau teori-teori HI mereka dalam membaca kemajemukan di Asia Tenggara. Oleh karena itu, ada fokus tersendiri dari buku yang ditulisnya mengenai melihat HI di Indonesia dari dalam Indonesia itu sendiri.
Sudut pandang tersebut tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh pembedah buku, Muhammad Riza Hanafi. Ia bercerita tentang kegiatan HI-UB 3 tahun lalu ketika mengundang salah satu profesor dari Taiwan. Profesor tersebut menjelaskan tentang bagaimana HI dilihat melalui kacamata negaranya sendiri, bukan dari negara-negara asing lainnya. Ini jelas menggambarkan suatu potensi pandangan berbeda dari efek domino yang sudah lama dianut HI, yakni melihat HI dari perspektif Barat itu sendiri.
“Ada dua hal yang membuat saya tertarik pada buku ‘Ilmu Hubungan Internasional Indonesia’. Pertama, karena judulnya. Kedua, karena pembabakan di dalamnya,” ujar Riza.
Riza mengatakan bahwa ia lebih nyaman membaca buku tersebut dari belakang ke depan. Ia mengatakan jika buku ini di balik secara sub-bab maka akan lebih tepat, karena langsung pada permasalahan. Setelah permasalahan ada perspektif. Setelah itu praktik.
Acara yang digelar oleh Intrans Publishing dan HI UB ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru bagi Civitas Akademika UB untuk melihat bagaimana hubungan internasional Indonesia dari kacamata Indonesia.